Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Gaji Rp 80 Juta pun Ngeluh

25 April 2020   16:02 Diperbarui: 26 April 2020   02:31 1561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sedang viral di jagat media maya, seseorang yang selama ini memiliki gaji Rp 80 juta per bulan mengeluh, karena akhirnya dilakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Akibatnya, semua rencana hidupnya ambyar.

Cicilan tak terbayar, gaya hidup sudah terlanjur di awang-awang. Angka Rp 80 juta itu jelas mengingatkan pada sosok Vanessa Angel yang pernah mendapat bayaran sebesar itu saat bertandang ke Surabaya.

Cerita soal gaji Rp 80 juta tersebut dibagikan akun Twitter @_pasiholan. Akun tersebut menceritakan temannya berprofesi sebagai karyawan swasta dengan gaji Rp 80 juta per bulan kini harus menerima kenyataan pahit karena kena PHK oleh perusahaan.

Padahal karyawan tersebut kerap hidup mewah. Disebutkan, temannya memiliki cicilan kredit mobil mewah dan kredit rumah di Kota Wisata yang mencapai Rp3 miliar.

skrinsyut Twitter
skrinsyut Twitter
Saat ini, tabungannya sudah tipis dan merasa kebingungan dengan kondisi yang dialaminya saat ini. Akibatnya, rumah tangga karyawan tersebut berantakan lantaran kehidupan keluarganya selama ini tergolong tinggi. Ia menambahkan temannya tersebut kini mengaku kebingungan.

Membaca kabar viral tentang gaji tersebut, siapa yang jiwanya tidak berontak bahkan meronta-ronta. Apalagi jiwa mereka yang pendapatannya selama ini pas-pasan, mungkin seketika syok mendengarnya.

Lah, yang gajinya setara honor Vanessa Angel saja mengeluh, apa kabar mereka yang untuk makan sehari-hari saja harus memeras keringat bahkan harus muntah darah?

Ada buruh pasar, ada tukang sayur, ada pedagang kaki lima, tukang parkir, penyapu jalan, pemulung, tukang ojek pengkolan, pekerja serabutan, dan masih banyak sederet pekerjaan lainnya yang penghasilannya hanya bisa dimakan pada hari yang sama.

Saya lantas ingat sebuah seminar yang pernah saya ikuti, bahwa ada kurikulum yang kurang dari sistem pendidikan di Indonesia. Apa itu? Yaitu cara mengelola keuangan. Di negara lain, cara mengelola keuangan sudah diajarkan sejak dini. Sementara di Indonesia, ini belum banyak dilakukan.

Coba perhatikan, pendidikan melek finansial atau soal keuangan justru banyak didapatkan dari kursus atau seminar. Akibatnya, dalam kondisi pandemi Corona saat ini, tidak banyak yang mampu bertahan karena belum memiliki kemampuan mumpuni dalam mengelola keuangan yang baik. Maka sudah saatnya, kurikulum melek keuangan diajarkan sejak kecil.

Pemahaman pengelolaan keuangan bukan untuk mereka yang kaya atau belum kaya. Ini adalah soal bagaimana mengelola hasil yang didapatkan untuk mengatur dan merancang masa depan. Sehingga jika terjadi sesuatu, semua masih bisa bertahan dengan baik.

Paling utama adalah, bagaimana mengendalikan diri agar mampu menahan godaan. Anda yang memiliki kartu kredit misalnya, begitu besar godaannya. Dengan cicilan nol persen dan bonus segambreng, membuat siapa saja begitu tergiur belanja, meski sebetulnya barang itu belum terlalu dibutuhkan.

Termasuk mereka yang memiliki gaji besar seperti contoh di atas tadi misalnya. Hedonic treatmill alias godaan gaya hidup membuat gaji yang cukup lumayan itu juga banyak terpakai untuk hal-hal yang tidak murah. Bagi buruh, makan nasi bungkus plus minum Rp 15 ribu jelas sudah sebuah kemewahan. Tapi bagi yang gajinya puluhan juta, makan steak plus minuman yang jutaan rupiah, bukanlah suatu kendala.

Tentu tidak bisa membandingkan apple to android. Itu sama saja membandingkan langit dan jurang. Perbedaannya jauh. Tapi kalau dilihat dari fungsinya, bukankah tidak jauh berbeda?  

Disadari atau tidak, pandemi Corona ini justru memaksa setiap orang memiliki kemampuan baru yakni bagaimana bertahan hidup. Dan akhirnya semua orang jadi tahu, apa sesungguhnya hidup. Sebab selama ini, banyak yang berlomba-lomba dalam kelebihan, sementara di sekeliling masih ada yang memikirkan bagaimana caranya bisa hidup.  

Semoga banyak lagi hikmah yang bisa dipetik dari kondisi saat ini. Dan ketika wabah berakhir, tetap bisa istiqamah dan bukan malah lalai atau jor-joran kembali.

Jadi ingat kata sang bijak. Untuk hidup sebetulnya mudah dan murah. Yang mahal adalah gaya hidup.

Bagaimana menurut sahabat?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun