"Saya rasanya kurang sependapat dengan apa yang disampaikan psikolog itu. Masa yang begini dianggap lumrah," ujarnya dengan mimik serius.
Sebagai kakak ipar, dia merasa khawatir jika adik iparnya ini akhirnya keterusan dan benar-benar menjalani kehidupan sebagai gay.
Singkatnya, sahabat saya ini akhirnya berhasil membujuk adik iparnya untuk menjalani sesi hipnoterapi.
Namun, di sesi perjumpaan pertama, saya tidak langsung melakukan hipnoterapi, melainkan hanya berdiskusi dan memberikan penjelasan lengkap soal hipnoterapi. Kenapa?
Karena dia datang karena permintaan kakak iparnya. Sehingga perlu edukasi yang detail hingga akhirnya keputusan menjalani hipnoterapi itu datang dari dirinya sendiri.
Penjelasan yang saya berikan, akhirnya dapat diterima dengan baik. Sepekan kemudian, klien ini akhirnya bersedia menjalani sesi hipnoterapi, tanpa kakak iparnya, bahkan tidak diketahui kakak iparnya. Ia ingin, kakak iparnya tidak mengetahui proses hipnoterapi itu.
Begitu duduk di kursi terapi, ternyata klien langsung abreaksi. Pertahanannya bobol, diiringi rembesan air mata yang meleleh dari kedua pelupuk matanya. "Perempuan itu tidak ada gunanya... bisanya hanya merusak perasaan, bikin sakit hati," ujarnya.
Melihat kondisi klien yang sudah hipnosis seperti ini, saya pun tinggal membimbing klien untuk masuk semakin dalam ke pikiran bawah sadar yang efektif untuk melakukan terapi. Uji kedalaman berhasil, proses hipnoanalisis pun berlanjut.
Klien langsung terlempar pada kejadian selepas lulus dari salah satu SMA favorit di Samarinda. Klien mengalami kembali kejadian itu.
Ketika itu, klien dan pacarnya, seorang perempuan, sudah berjanji akan melanjutkan kuliah terlebih dahulu, baru kemudian menikah.
Namun ternyata, satu bulan kemudian, sang pacar menikah dengan pria lain karena dijodohkan orang tuanya. Sang pacar hijrah ke Balikpapan, menikah dengan salah satu aparat yang berdinas di Balikpapan.