Di setiap negara, boleh jadi ada film paling menakutkan bagi penduduk negeri. Nah bagi saya, penduduk negara ber-flower alias negara berkembang, film satu ini adalah film paling menakutkan sekaligus menyeramkan. Apakah film yang dibintangi Suzanna? Bukan. Sama sekali bukan.
Bagi saya, film yang dibintangi Suzanna itu malah lucu, sangat lucu. Ga ada takut-takutnya sama sekali. Film yang menakutkan bagi saya adalah film Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia alias G30S/PKI atau ada yang menyebut dengan Gestapu, Gerakan September Tiga Puluh. Sebab film itulah yang selalu sukses membuat saya tidak bisa tidur semalaman. Â Â Â
Maka tak usah heran, begitu kalender menunjukkan tanggal 30 September, sejak bertahun-tahun lalu, saya selalu ketakutan. Yang ada di pikiran adalah suasana mencekam, menyeramkan, dan sangat menakutkan.
Ya, sejak duduk di sekolah dasar (SD), saya sangat trauma dengan film yang menunjukkan kekejaman Partai Komunis Indonesia (PKI). Terlepas benar tidaknya film ini, namun ritual tahunan dengan memutar film tersebut benar-benar berhasil membuat tidak bisa tidur semalam suntuk.
Dari mulai alunan musiknya, dialog-dialognya, semua masih lekat di pikiran bawah sadar. Walau kini tidak lagi melihat film ini, namun dengan mudah bayangan terkait semua adegan film, bisa muncul di pikiran secara nyata, tiga dimensi, dan berwarna.
Masih kuat di ingatan saya, setiap kali 30 September, selalu memilih tidur dengan ibu. Saya peluk erat tubuhnya dan seluruh wajah ini tenggelam di pelukannya.Â
Meski televisi di rumah sudah dimatikan, ternyata suara televisi milik tetangga yang sedang menyaksikan film PKI ini tetap masuk di telinga. Jadilah diri ini semakin ketakutan, keringat dingin, dan tubuh semakin gemetar.
Beranjak dewasa, usia SMP, perasaan takut ini belum hilang. Setiap kali ada pemutaran film ini, lebih memilih menutup telinga dengan headphone berisi musik kesukaan.
Puncaknya ketika SMA, saat itu mewakili Kalimantan Timur mengikuti lomba pidato Hari Kesaktian Pancasila tingkat nasional di Jakarta. Lomba diikuti 26 peserta dari masing-masing provinsi. Jumlah provinsi saat itu hanya 27, dan ketika itu Papua sedang tidak ikut serta.
Usai lomba berlangsung di Kementerian Pendidikan Nasional di kawasan Fatmawati Jakarta, ternyata ada kunjungan ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dan Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya.Â
Saya benar-benar syok, kenapa harus berkunjung ke tempat yang selama ini saya takuti. Namun, sebagai wakil dari provinsi Kaltim, jelas harus menyembunyikan perasaan ini.
Di Lubang Buaya Jakarta Timur, saya berusaha sekuat tenaga membuang rasa takut yang menyelimuti tubuh. Meski berusaha santai dan tertawa-tawa dengan teman peserta lomba dari provinsi lain, faktanya tubuh tetap gemetar, badan terasa dingin.Â
Apalagi ketika menengok sumur yang konon digunakan untuk membuang para jenderal itu, nyali seketika langsung ciut, lutut terasa lemas. Beruntung, ketika itu peserta dari Jakarta yang tubuhnya lebih besar dari saya, bisa jadi tempat berpegang.
Begitu pula ketika melihat rumah yang dijadikan lokasi pembantaian. Di dalam rumah itu terlihat patung lilin menyerupai para jenderal yang sedang disiksa. Benar-benar rasa takut itu menjadi semakin kuat.Â
Apalagi, suara-suara dialog yang terjadi juga terdengar sayup-sayup melalui pengeras suara yang ada di sekeliling bangunan ini.
"Darah itu merah jenderal!!!" salah satu dialog yang sampai detik ini terdengar dengan nyata.
Teror ketakutan belum selesai. Seluruh rombongan diajak masuk ke dalam museum Lubang Buaya. Di museum ini berisi diorama perjalanan PKI dari masa ke masa.Â
Bagi saya, kekejaman komunis benar-benar sejarah paling kelam yang tak patut dikenang. Harus dibuang jauh-jauh. Walau sejarah tetap akan tercatat sepanjang masa.
Beruntung, sejak mendalami teknologi pikiran di Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology, teror itu akhirnya berahir. Dengan teknik khusus yang sudah diajarkan, akhirnya benar-benar bisa membuang semua perasaan takut dan tidak nyaman itu.Â
Dalam proses terapi mandiri yang saya lakukan, tubuh sempat gemetar, keringat dingin bercucuran. Bersyukur, beban rasa takut itu akhirnya benar-benar lepas dan lenyap.
Hingga kini, masih menimbulkan kontroversi terkait benar tidaknya semua kejadian tersebut. Bagi saya semua itu tidak penting. Yang penting, saya tidak lagi takut film itu.Â
Saya berharap, tidak ada lagi orang lain yang takut akan film ini. Karena trauma yang disebabkan film tersebut sudah benar-benar menyiksa selama bertahun-tahun.
Bagaimana menurut sahabat? (*)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H