Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Mulai Januari 2019, Lupakan 5W dan 1H

19 September 2019   23:41 Diperbarui: 19 September 2019   23:46 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lantas kenapa pelakunya bahkan lokasinya harus dirahasiakan? Ya itu tadi, untuk menutup kemungkinan orang tahu siapa identitas anak yang menjadi korban. Jangankan menyebutkan namanya, menyebut inisialnya saja bagi pemberitaan yang berkaitan dengan anak, sangat tidak dibenarkan.

Namun nyatanya hingga saat ini masih ada saja media yang menuliskan inisial korban termasuk pelaku yang dekat dengan korban. Kenapa tidak dibenarkan menulis inisialnya? 

Karena itu memudahkan pembaca merujuk pada nama seseorang. Termasuk nama sekolah tidak dibenarkan ditulis, termasuk alamat rumah atau tempat tinggal korban. Kecuali kasusnya itu sendiri sebagai bahan pembelajaran.

Tak hanya wartawan, para editor atau redaktur serta pemimpin redaksi dan pemilik media harus memahami ketentuan yang relatif baru ini. Agar wartawan tidak serta merta disalahkan ketika membuat berita tidak lengkap terkait kasus anak.

Ketentuan mengenai hal tersebut bisa disimak pada Pasal 19 Undang Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak  Identitas Anak. Pada ayat 1, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik. Kemudian ayat 2, Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi nama Anak, nama Anak Korban, nama Anak Saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi.

Pelanggaran atas pasal ini akan berimplikasi pidana sesuai Pasal 97, disebutkan setiap orang yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta.


Dengan demikian, para pekerja jusnalistik tidak hanya dituntut memahami Kode Etik Jurnalistik, namun juga wajib mengetahui PPRA ini. Apalagi Dewan Pers sudah memasukkan materi Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) ini sebagai komponen mata uji yang wajib dipahami para wartawan yang sedang mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW). Hal tersebut mulai berlaku sejak Januari 2019.   

Dengan tambahan materi uji tersebut, yakni khusus KEJ dan PPRA, maka sejak Januari 2019 materi uji untuk kelompok muda dan madya menjadi 10, dari semula 9 mata uji. Sedangkan untuk kelompok utama menjadi 9 mata uji dari semula 8 mata uji dengan 7 penilaian. Sebagai informasi, nilai untuk dua mata uji yakni Rapat Redaksi/Perencanaan dan Rapat Redaksi Evaluasi, semula digabung menjadi satu penilaian.

Mudah-mudahan para wartawan di Tanah Air semakin memahami aturan dan ketentuan ini. Semoga. (*)

*) Penulis adalah ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kalimantan Timur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun