Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menuding Djarum melakukan eksploitasi anak melalui program audisi beasiswa bulutangkis Djarum Foundation. Djarum pun tak ambil pusing. Pabrik rokok yang berpusat di Kudus itu mengambil keputusan menghentikan audisi bulutangkis tersebut mulai 2020 mendatang.
Secara pribadi, saya sangat memuji langkah yang dilakukan pihak Djarum. Sudah keluarkan duit begitu banyak demi prestasi olahraga kok direcokin? Ya sudah, sekalian saja dihentikan. Pihak Djarum tentu saat ini bisa bernafas lega, bisa menghemat anggaran yang tidak sedikit. Lantas siapa yang dirugikan?
KPAI mungkin lupa, ada banyak orang tua di negeri ini yang menggantungkan impian agar anaknya bisa menjadi penerus Alan Budikusuma atau Susi Susanti. Cita-cita itu tak harus jadi dokter atau polisi. Masih banyak orang tua di negara +62 ini yang ingin anaknya bisa menjadi atlet profesional dengan prestasi maksimal.
Persoalannya, untuk bisa menjadi atlet profesional, biayanya tidak sedikit. Atlet bulu tangkis misalnya, perlu alat yang tidak murah. Belum lagi harus sewa lapangan saat bermain, juga membeli bola bulunya yang mudah koyak dan harus diganti baru. Bagi yang uangnya tidak berseri, tentu tak masalah. Bagaimana dengan orang tua yang justru berharap keluarga mereka bisa meningkat taraf hidupnya melalui olahraga ini? Beasiswa itulah salah satu impian yang bisa dikejar dengan realistis. Maka, keributan yang sudah berhasil dimunculkan KPAI sekaligus telah sukses mengubur impian para orang tua dan atlet usia dini yang ingin berkarir di olahraga ini. Â Â
Seperti dikabarkan, Direktur Program Bakti Olahraga Djarum Foundation, Yoppy Rosimin di Hotel Aston Purwokerto, Sabtu (7/9/2019) menyampaikan bahwa pihaknya akan menghentikan audisi umum 2020. Sementara audisi 2019 terus berjalan namun tak boleh lagi memasang logo berbau rokok. Â
Sementara, Sitti Hikmawaty, Komisioner Bidang Kesehatan dan Napza KPAI menyampaikan, tak ingin menghentikan audisi, namun ingin peraturan ditaati. Yakni melarang brand yang mengarah ke zat adiktif yang menempatkan anak seperti media iklan.
Apakah keputusan yang dikeluarkan KPAI adalah titipan dari orang atau kelompok tertentu? Saya masih berpikir positif. Semoga saja apa yang dilakukan KPAI murni demi masa depan anak agar tidak terpapar zat adiktif. Namun masalahnya, apa sebenarnya dosa besar dari Djarum sehingga harus menanggung keputusan itu? Apakah salah menggunakan nama Djarum untuk proses audisi sementara sama sekali tidak ada gambar atau aktivitas merokok di sana?
Saya lantas ingat dengan teman saya kemarin, yang agak ragu memakan makanan ringan yang baru saja dia beli. Jajanan rasa cokelat itu katanya terasa seperti sabun colek. Kenapa? Karena pabrik pembuatnya adalah Wings yang selama ini dikenal pembuat sabun colek. Apa yang diungkapkan teman saya tentu hanya bercanda. Itu hanya soal pola pikir yang perlu diluruskan bahwa Wings tidak hanya pembuat sabun colek. Tapi banyak juga mampu membuat makanan yang lezat dan nikmat.
Nah itu pula pola pikir yang harus digunakan kepada Djarum. Faktanya, Djarum tidak sekadar memproduksi rokok. Nama ini juga mempunyai sumbangsih besar pada sektor pendidikan dan olahraga di Tanah Air. Entah sudah berapa banyak anak bangsa yang berhasil meraih impian berkat beasiswa Djarum. Begitu juga tak sedikit atlet berprestasi internasional juga lahir dari tangan Djarum. Lantas apa salah Djarum?
Menyalahkan Djarum atas pemberian beasiswa audisi bulutangkis itu sama dengan melarang Wings memproduksi makanan tadi. Bukankah selama ini Wings dikenal sebagai pembuat sabun? Nyatanya, Wings tetap sukses memproduksi makanannya. Sama dengan Djarum, faktanya tak hanya bisa membuat rokok, tapi juga sukses memberikan beasiswa melalui yayasan Djarum.
Apa tidak boleh Djarum menggunakan namanya sendiri atas program yang menguras biaya? Jangan pula seperti pepatah, "kerbau punya susu, sapi punya nama." Djarum yang bekerja keras, masa pakai nama pihak lain.