Berita kurang nyaman dibaca muncul dari Universitas Khairun (Unkhair) Ternate, Maluku Utara. Beredar video yang kemudian viral, isinya tentang ospek di kampus tersebut yang sangat kurang mendidik.
Konon, para mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) di kampus itu disuruh sang senior untuk meminum air ludah. Tak cuma itu, mahasiswa baru juga diminta untuk berjalan jongkok melewati bawah kedua kaki seniornya di deretan anak tangga.
Melalui akun instagramnya, seperti dimuat Kompas.com, Badan Eksekutif Mahasiswa kampus tersebut langsung meminta maaf. Rektor Unkhair Ternate, Husen Alting melalui rilisnya yang diterima Kompas.com menyampaikan permohonan maaf atas kejadian tersebut sekaligus mengutuk keras perbuatan yang dilakukan itu.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, ditemukan empat mahasiswa senior yang terlibat secara langsung dalam kejadian tersebut yakni berinisial AE, FSMA, LM dan NSF, yang semuanya adalah mahasiswa Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Â AE diberikan sanksi skorsing perkuliahan 2 semester. Sedangkan FSMA, LM dan NSF masing-masing diberikan sanksi skorsing selama 1 semester.
Lantas fenomena apa yang sebenarnya terjadi pada senior yang tega melakukan tindakan kurang elok itu? Ditinjau dari sisi teknologi pikiran sudah jelas bahwa sejatinya setiap pikiran bawah sadar manusia tidak mengenal baik atau buruk, benar atau salah, bahkan pahala atau dosa. Yang dikenal oleh pikiran hanyalah untung atau rugi.
Bagi para senior yang notabene sudah lebih dulu berada di kampus, tentu sudah sangat tahu bahwa tindakan memberikan 'azab' kepada para yuniornya adalah kurang elok. Lalu kenapa masih dilakukan?
Ya itu tadi. Pikiran para senior itu tidak mengenal benar atau salah. Yang mereka tahu, hal itu sangat menguntungkan? Untung seperti apa? Ya mereka untung karena ada rasa puas yang dirasakan ketika melihat yuniornya 'tersiksa'.
Inilah sifat dasar yang kadang tidak disadari manusia. Susah melihat orang senang, sebaliknya, senang melihat orang susah. Di balik sifat itu, sejatinya juga hanya mengenal untung atau rugi.
Ketika orang lain senang, tentu dirinya merasa rugi sehingga ada rasa susah dan tidak rela. Sebaliknya saat melihat orang susah, ada kebahagiaan yang dirasakan karena dirinya merasa sangat diuntungkan.
Saya pribadi, dulu ketika menjadi mahasiswa baru, juga menggunakan pola untung rugi ini. Maka ketika di kampus dan menjadi mahasiswa baru, saya merasa tidak ada untungnya mengikuti orientasi pengenalan kampus yang 'menyiksa' itu.
Hari pertama ospek, yang saya lakukan adalah pura-pura kerasukan. Pernah menjadi anggota teater saat di sekolah menengah atas, ditambah pengalaman melihat teman yang kerasukan ketika di sekolah, tentu membuat saya mudah berpura-pura kerasukan. Â
Alhasil, aksi saya mulus. Saya langsung 'dilantik' menjadi anggota 'pasukan bodrex' alias mahasiswa yang penyakitan. Diberi tanda seutas pita kuning di lengan kanan, membuat saya aman dari siksaan selama masa pengenalan kampus itu.
Di tingkat fakultas dan jurusan, saya pun tak mengikutinya. Walau diancam tidak mendapatkan beasiswa, atau tidak boleh jadi pengurus senat, saya tetap berpikir, tidak ada untungnya mengikuti kegiatan yang lebih banyak sebagai ajang 'balas dendam' antara senior dan yunior itu.
Ketika itu, boleh jadi saya tak punya kekuatan untuk melawan. Namun setidaknya, saya sudah memotong mata rantai 'menyiksa' yunior itu untuk diri saya sendiri. Sehingga, ketika sudah menjadi mahasiswa senior, saya tidak merasa perlu melakukan balas dendam, karena memang selalu aman dari siksaan.
Yang ada, mungkin para senior yang malah dendam ke saya. Sebab waktu saya pura-pura kerasukan, para senior itu kena semburan air ludah dan amukan dari saya, he he he. Â Â
Benarkah tidak ikut ospek tidak akan mendapatkan beasiswa? Ah siapa bilang. Nyatanya saya mendapatkan beasiswa itu, tentunya diawali dengan wawancara dengan pembantu dekan tiga bidang kemahasiswaan.
Maklum, ketika itu saya kuliah sembari bekerja sebagai wartawan harian. Jadi, mendekati pejabat kampus melalui wawancara adalah hal yang wajar, sekaligus sebagai sumber berita.
Berdasarkan pengalaman itulah, setiap mahasiswa sebaiknya bertanggung-jawab memotong mata rantai 'penyiksaan' itu. Jika saat jadi mahasiswa baru sempat mengalami 'azab', maka ada baiknya menetralisir diri sendiri.
Buang semua perasaan tidak nyamannya, supaya tidak muncul dendam. Sehingga aksi menyiksa yunior pada tahun berikutnya tidak akan terjadi lagi.
Bagaimana menurut sahabat? (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI