Alhasil, aksi saya mulus. Saya langsung 'dilantik' menjadi anggota 'pasukan bodrex' alias mahasiswa yang penyakitan. Diberi tanda seutas pita kuning di lengan kanan, membuat saya aman dari siksaan selama masa pengenalan kampus itu.
Di tingkat fakultas dan jurusan, saya pun tak mengikutinya. Walau diancam tidak mendapatkan beasiswa, atau tidak boleh jadi pengurus senat, saya tetap berpikir, tidak ada untungnya mengikuti kegiatan yang lebih banyak sebagai ajang 'balas dendam' antara senior dan yunior itu.
Ketika itu, boleh jadi saya tak punya kekuatan untuk melawan. Namun setidaknya, saya sudah memotong mata rantai 'menyiksa' yunior itu untuk diri saya sendiri. Sehingga, ketika sudah menjadi mahasiswa senior, saya tidak merasa perlu melakukan balas dendam, karena memang selalu aman dari siksaan.
Yang ada, mungkin para senior yang malah dendam ke saya. Sebab waktu saya pura-pura kerasukan, para senior itu kena semburan air ludah dan amukan dari saya, he he he. Â Â
Benarkah tidak ikut ospek tidak akan mendapatkan beasiswa? Ah siapa bilang. Nyatanya saya mendapatkan beasiswa itu, tentunya diawali dengan wawancara dengan pembantu dekan tiga bidang kemahasiswaan.
Maklum, ketika itu saya kuliah sembari bekerja sebagai wartawan harian. Jadi, mendekati pejabat kampus melalui wawancara adalah hal yang wajar, sekaligus sebagai sumber berita.
Berdasarkan pengalaman itulah, setiap mahasiswa sebaiknya bertanggung-jawab memotong mata rantai 'penyiksaan' itu. Jika saat jadi mahasiswa baru sempat mengalami 'azab', maka ada baiknya menetralisir diri sendiri.
Buang semua perasaan tidak nyamannya, supaya tidak muncul dendam. Sehingga aksi menyiksa yunior pada tahun berikutnya tidak akan terjadi lagi.
Bagaimana menurut sahabat? (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H