Media sosial kembali heboh dengan beredarnya video yang diduga oknum pilot Lion Air sedang memukul karyawan Hotel La Lisa Surabaya. Konon, pemukulan itu terjadi akibat sang pilot kecewa karena hasil cucian pada seragamnya kurang sesuai harapan. Haruskah marah dilampiaskan dengan cara pukulan seperti itu?
Izinkan saya mencoba mengulik kasus ini dari sisi teknologi pikiran yang selama saya geluti. Saya tertarik mendalami hipnoterapi klinis berbasis teknologi pikiran karena sebelumnya juga memiliki persoalan dalam mengelola emosi.
Ya, dahulu saya juga mudah marah. Bahkan bisa membanting benda apa pun yang kebetulan ada di dekat saya. Bahkan, pernah sampai memukul atau menyakiti orang lain. Tapi itu dulu. Sebelum saya memahami bagaimana mengelola emosi yang tepat.
Berkat dorongan agar bisa mengelola emosi dengan baik, akhirnya saya terdampar di kelas Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy (SECH) di Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology Surabaya. Sejak itulah, saya memahami bagaimana cara kerja pikiran, termasuk bagaimana mengelolanya.
Kembali ke persoalan pilot yang mudah tersulut emosi dan melampiaskannya dengan pukulan, hanya karena hasil cucian yang kurang bagus. Boleh jadi, di dalam pikiran bawah sadar sang pilot, semua persoalan atau rasa tidak nyaman, harus diselesaikan dengan amarah bahkan dengan pukulan. Itu merupakan program otomatis yang sudah tersimpan di pikiran bawah sadar.
Maka, setiap kali ada kejadian yang membuatnya tidak nyaman, bisa langsung marah, bahkan jika levelnya maksimal, jadilah pemukulan itu. Program marah itu biasanya tidak disadari dan akan terjadi terus menerus jika program tersebut tidak segera dihapus.
Penghapusan emosi marah itulah yang biasanya saya lakukan di ruang praktik, jika bertemu klien dengan emosi tertentu yang cukup menganggu secara intens. Dengan teknik tertentu, akan diketahui, apa yang menyebabkan seseorang begitu mudah marah, bahkan memukul.
Boleh jadi di masa lalu, bahkan bisa saja ketika usianya masih kanak-kanak, sang pilot itu pernah mengalami kejadian kena marah atau bahkan dipukul. Entah oleh siapa.
Atau bisa saja, sang pilot di masa lalunya sudah terbiasa melihat aksi marah atau pemukulan di lingkungannya. Maka, program marah disertai pemukulan itu secara otomatis akan terpasang di pikiran bawah sadar.
Tak heran jika ada pemicu sedikit saja, maka program marah di pikiran bawah sadarnya akan langsung aktif seketika, tanpa diperintah terlebih dahulu. Inilah terkadang para pelaku yang melakukan tindakan di luar batas, kemudian mengaku mendapat bisikan setan atau ada suara tertentu yang mendorong dirinya melakukan sesuatu di luar batas.
Padahal, itu adalah perintah dari pikiran bawah sadarnya sendiri, yang selama ini memang sudah ada. Namun selama ini sedang beristirahat atau tidur. Program ini akan seketika bangun jika dipicu oleh kejadian tertentu.Â
Apa yang saya tuliskan di atas hanyalah prediksi. Penyebab pastinya hanya bisa diketahui jika sang pilot bersedia menjalani sesi hipnoterapi klinis untuk mencabut program marah berlebihan yang tertanam di pikiran bawah sadarnya.
Jika saya menganalogikan cara kerja pikiran seperti kompor gas, maka program pikiran bawah sadar itu ibarat apinya. Sementara kejadian tertentu adalah gas elpiji. Sedangkan percikan bunga api yang muncul saat menyalakan kompor, ibarat muatan emosi atau perasaan.
Gas elpiji adalah netral. Tak akan pernah terbakar selama tidak ada percikan api. Begitu pula dengan semua kejadian yang dialami sehari-hari. Semuanya netral, sampai seseorang memberikan muatan emosi atau perasaan pada kejadian itu. Sedikit saja diberikan muatan emosi, baik positif maupun tidak positif, maka sejak itulah program pikiran bawah sadar akan tercipta.
Sebagai contoh, kurang tertibnya kondisi lalu lintas di Jakarta adalah kejadian yang netral dan sudah biasa terjadi. Semua jalanan penuh oleh kendaraan, sehingga arus lalu lintas kurang lancar. Jika tidak ada emosi tertentu, maka kurang lancarnya lalu lintas itu ya biasa saja. Santai saja, nikmati saja. Karena itulah Jakarta.
Akan tetapi, sekali saja seseorang memberikan muatan emosi kesal atau jengkel bin bete. Maka akan langsung tercipta program baru di pikiran bawah sadar. Jika sudah seperti itu, maka setiap kali mendapati arus lalu lintas tidak lancar atau jalanan penuh, maka langsung muncul rasa tidak nyaman, kesal, hingga bete dan uring-uringan.Â
Boleh jadi itu pula yang dialami sang pilot. Mungkin sudah ada program di pikiran bawah sadarnya sehingga kejadian itu otomatis menjalankan program marah bahkan sampai memukul. Padahal, saya yakin banyak pilot lain pernah mengalami hal yang sama, tapi tak perlu marah. Cukup komplain dan disampaikan dengan baik. Tentu disertai harapan agar ke depan layanannya bisa lebih baik dan lebih maksimal.
Saat saya mengikuti Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) LVII di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI di Jakarta selama 7 bulan, selama itu pula saya bergantung pada layanan binatu. Sesekali tentu saja ada hasil cucian yang kurang maksimal. Tapi untuk apa marah? Memangnya marah bisa membuat seragam seketika langsung licin dan rapi? Toh tinggal disampaikan dan diberi tahu dimana letak kekurangannya. Beres bukan?
Saya hanya membayangkan, bagaimana mungkin seorang pilot bisa mengemudikan pesawat dengan maksimal jika amarahnya mudah meledak. Bukankah dalam kejadian tertentu, ketenangan emosi sangat dibutuhkan?
Semoga tak ada lagi oknum pilot yang mudah marah. Semoga semua pilot di dunia ini selalu sehat, nyaman, bahagia dan sejahtera lahir dan batin. Semoga semua pilot menjalani profesinya dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang. Sehingga energi positifnya bisa menyebar dan berimbas pada kenyamanan para penumpangnya.Â
Demikianlah harapannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H