Hampir setiap tahun, setiap Hari Pendidikan Nasional, selalu muncul isu guru yang kurang sejahtera. Utamanya para guru honorer yang nasibnya belum menguntungkan. Lantas, sampai kapan kondisi ini terus dibiarkan?
Pemerintah jelas harus bertanggung jawab. Namun, benarkah semua ini tanggung jawab pemerintah sepenuhnya? Sesuai undang-undang, memang sudah sepatutnya urusan pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah.
Namun bukankah pemerintah sudah mengalokasikan dana pendidikan yang cukup besar, 20 persen dari anggaran negara. Untuk apa saja semua itu? Lagi-lagi, kalau bicara skala lebih besar, tentu tidak mudah. Melalui tulisan ini saya mencoba menggunakan skala yang lebih kecil agar para guru sejahtera lahir dan batin.
Beberapa tahun lalu, saat anak saya masih bersekolah di salah satu lembaga pendidikan swasta, kondisinya sangat tidak menguntungkan. Muridnya sangat sedikit, kesejahteraan para gurunya juga jauh dari kata ideal. Sudah pasti, energi di sekolah itu sangat tidak nyaman.
Ketika itu saya harus realistis. Memindahkan tiga anak sekaligus dengan jenjang yang berbeda, tentu harus memilih sekolah yang muridnya tidak banyak. Sekolah itulah yang saya pilih, dan terbukti ketiga anak saya semuanya diterima. Duduk di kelas 1, kelas 2, dan kelas 4. Di setiap tingkatan itu jumlah muridnya tidak lebih dari 15 orang. Bahkan yang kelas 4, muridnya hanya 7 orang.Â
Guru yang mengajar di sekolah itu jelas memiliki energi yang sangat-sangat tidak maksimal. Jangankan melihat amplop gajinya setiap bulan. Melihat jumlah muridnya di kelas saja bisa bikin badan mendadak meriang dan enggan mengajar.
Tapi sekolah ini harus terus berjalan. Tidak mungkin ditutup seperti dalam kisah film Laskar Pelangi. Maka saya mencoba memberikan motivasi kepada para guru. Dengan bekal pemahaman yang saya memiliki tentang teknologi pikiran, saya mencoba mengubah pola pikir para guru dari pecundang menjadi pemenang.
Kenapa pecundang? Jelas sekolah ini memang tidak dilirik sama sekali. Jangankan oleh masyarakat luas. Oleh organisasi pendirinya pun sekolah itu diabaikan. Setelah pola pikir para guru diubah, energi pun menjadi lebih maksimal. Mulai ada semangat para guru memajukan sekolah.
Perlahan-lahan, coba mengubah kelemahan yang ada menjadi potensi yang luar biasa. Ya, ilmu magnet rezeki coba diaplikasikan dalam lingkungan sekolah ini. Tak boleh ada keluhan. Semua harus semangat.
Setiap guru sebisa mungkin memberikan kasih sayang yang tulus. Seperti apa pun kondisi murid, dianggap sebagai anak sendiri dengan sepenuh hati. Guru juga selalu menghindari kalimat atau kata yang kurang positif.