Kasus Audrey terbukti begitu banyak menyita perhatian publik. Baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Entah kalau di dunia lain, karena saya tidak punya kemampuan menerawang sampai ke sana. Audrey adalah bocah perempuan 14 tahun di Pontianak yang menjadi korban perundungan oleh 3 siswi SMA. Tak hanya mengalami luka fisik, tentu juga luka batin yang tidak ringan. Â
Mencuatnya kasus ini tentu menjadi hal positif. Begitu banyak orang tua prihatin dan memberikan komentar beragam. Bukti masih banyak warga yang peduli dan memiliki hati nurani pada hal-hal semacam ini.
Disadari atau tidak, perundungan alias bully belakangan sudah menjadi makanan sehari-hari. Di media sosial, begitu banyak konten kurang positif bertebaran di mana-mana. Di sinetron misalnya, begitu nyata perlakuan pada mereka yang belum kaya. Juga perlakuan untuk mereka yang dianggap tidak rajin atau kurang pintar. Â
Belum lagi di dunia komedi. Tak sedikit pelawan yang mempertontonkan adegan saling bully agar penonton tertawa. Tak heran jika saling ejek dianggap lumrah dan justru dijadikan komoditas. Tak banyak pelawak tampil cerdas tanpa harus mem-bully.
Begitu juga game alias permainan di telepon pintar, yang secara tidak langsung mengajarkan anak bagaimana 'membunuh' pihak lawan. Begitu kalah, lawan pasti di-bully.
Lebih parah lagi ya ajang Pemilu 2019 kali ini, tak lagi perang program atau saling adu hebat. Yang ada lebih banyak saling hujat dan mengejek. Maka, anak-anak dengan mudahnya terpapar oleh itu semua dan menganggap hujatan dan kebencian atas orang lain adalah hal yang wajar.
Saya tak ingin lebih jauh membahas Pilpres. Nanti pasti dianggap mempolitisir. Apa yang saya sampaikan nyatanya memang ada dan sudah terjadi. Betapa saling benci dan saling olok dianggap lumrah.
Kurang apa negara ini? Sekolah dan tempat ibadah begitu banyak. Â Umatnya pun konon dianggap beragama. Tapi kok sanggup berbuat seperti itu? Jangankan mereka yang pendidikannya kurang tinggi. Ulama yang nyata-nyata semestinya disegani pun jadi korban bully. Sebagian malah jadi pelaku bully. Ke manakah hilangnya moral anak bangsa ini?
Lalu bagaimana untuk memperbaiki itu semua? Tak usah bicara terlalu besar dan muluk-muluk. Untuk mengembalikan adat kesopanan, budaya ketimuran dan saling hormat-menghormati serta menyayangi, harus dimulai dari diri sendiri. Mulai dari diri sendiri, kemudian meluas ke tingkat keluarga dan masyarakat. Jika setiap individu melakukannya, niscaya bangsa ini akan kembali santun penuh keramahan. Â
Lebih konkret, mari mulai saat ini setiap individu memakai jurus ini: "saya selalu salah, orang lain mungkin benar." Dengan jurus ini, maka setiap individu tak pernah lagi merasa memiliki sebuah kebenaran. Biarlah kebenaran hakiki milik Sang Maha Pencipta.
Dengan kalimat itu, maka setiap individu akan berusaha memperbaiki diri sendiri. Kenapa? Karena menyalahkan keadaan tidak ada gunanya. Apalagi menyalahkan orang lain bahkan memaksakan kehendak pada orang lain.
Bully adalah dorongan dari pikiran bawah sadar untuk merendahkan atau menganggap remeh orang lain. Perundungan ini adalah upaya untuk menguasai orang lain bahkan agar bisa memaksakan kehendak pada pihak lain. Secara tidak langsung, pikiran bawah sadar pelaku perundungan mempunyai program, saya selalu benar, orang lain selalu salah. Juga pikiran, saya selalu menang, orang lain harus kalah.
Pola pikir itulah yang kemudian menjadi pemicu dan penyebab terjadinya perundungan. Bukankah di Alquran sudah disebutkan, kurang lebihnya begini: "Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sebelum mereka sendiri mengubah apa yang ada di dalam dirinya sendiri."Â Dalam pemahaman saya, itulah mind set alias pola pikir. Â
Pola pikir selalu merasa menang dan selalu merasa benar inilah yang harus dikikis habis. Sifat egois berlebihan itulah yang harus dibuang jauh-jauh. Sebab nyatanya, setiap kehebatan seseorang, akan tetap kalah dengan kehebatan orang lain, di bidang lainnya.
Disadari atau tidak, sikap selalu menang dan selalu benar ini terjadi karena didikan di bangku sekolah. Apa itu? Ranking. Ya, adanya ranking sejak anak duduk di sekolah dasar sudah menyebabkan anak tumbuh sebagai pribadi yang egois, selalu ingin menang sendiri, dan harus bisa menguasai teman lainnya. Dia harus merasa lebih hebat dari orang lain. Ranking yang awalnya diharapkan menjadi ajang motivasi dan kompetisi, berubah menjadi bumerang mematikan pada masa depan anak.
Akhirnya anak akan berusaha apa saja, bahkan dengan curang, agar bisa mendapatkan kemenangan. Padahal, di tingkat dasar, yang diperlukan adalah karakter dan mental. Untuk apa anak jago matematika atau ilmu pengetahuan kalau kemudian karakter dan mentalnya payah? Bagaimana bisa berharap menghasilkan anak didik yang berkarakter dan bermental baik jika pelajaran agama dan moral hanya sebagai pelengkap derita?
Sayangnya, hal ini tidak akan bisa diubah, selama sistem pendidikan tidak diubah. Bagaimana mungkin anak sekolah dasar harus memikul beban tas ransel yang beratnya hampir sama dengan karung beras. Begitu banyak beban mata pelajaran yang harus dikuasai di usia yang belum maksimal.
Dampaknya, anak menjadi mudah lelah dan stress. Akibatnya, kondisi psikologisnya terganggu, emosinya pun bisa meledak-ledak. Apalagi jika kedua orang tuanya menuntut anak harus juara kelas. Lengkaplah sudah penderitaan anak. Maka jangan heran jika kemudian ada anak yang melampiaskan kekesalan di rumah dengan menjadi 'preman' di sekolah. Dia menjadi ketua genk, dan menjadi pelaku bully.
Mau sampai kapan kondisi seperti ini dibiarkan? Haruskah tunggu 'Audrey' lain menjadi korban?
Hanya Yang Kuasa yang tahu segalanya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H