Saya pun meminta diadakan pertemuan. Dihadiri kepala sekolah serta semua guru dan elemen sekolah lainnya. Saya minta setiap guru untuk memberikan masukan dan saran tertulis untuk kepala sekolah tersebut. Minimal 5 saran, boleh lebih. Saya juga meminta setiap orang menuliskan minimal 5 kesalahannya masing-masing, boleh lebih. Â
Pun demikian juga dengan kepala sekolah. Saya minta beliau menuliskan 5 kesalahannya, boleh lebih, untuk menjadi bahan perbaikan ke depan. Semua pun dengan tenang dan hening fokus pada kertasnya masing-masing.
Hampir 30 menit waktu digunakan untuk sesi tersebut. Saran dan masukan dari setiap guru diserahkan kepada kepala sekolah. Sementara daftar kesalahan masing-masing, saya minta untuk dibaca dan dicermati kembali dalam suasana hening.
Tak terasa, kepala sekolah di hadapan saya meneteskan air matanya. Dia segera menghampiri saya. "Ternyata selama ini saya yang salah. Saya terlalu egois. Tidak mau mendengar masukan. Juga sibuk membanding-bandingkan sekolah ini dengan sekolah saya dulu," bebernya dengan linangan air mata.
Saya pun meminta kepala sekolah ini mendatangi guru dan stafnya satu demi satu, untuk saling bermaafan. Maka, hari itu suasana yang selama ini kurang nyaman, bisa disatukan kembali.
Lagi-lagi, komunikasi menjadi kunci utama. Saling memahami, terutama mau mendengar, adalah hal yang sangat penting dalam setiap berhubungan dengan pihak lain.
Apa yang terjadi pada kisah sekolah tersebut di atas, juga bisa saja terjadi pada perusahaan, pada organisasi, instansi, atau bahkan di lingkungan keluarga.
Semoga ada hikmah dan pelajaran yang bisa diambil dalam contoh persoalan tersebut. Sehingga, hubungan antarsesama individu bisa lebih nyaman dengan energi yang selalu maksimal.
Demikianlah harapannya. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H