Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

18 Anak Alumni ISIS Kembali ke Pangkuan Indonesia

10 April 2018   13:43 Diperbarui: 10 April 2018   17:44 3129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: redaksikota.com

JAKARTA -- Publik banyak meyakini bahwa Gerakan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) lebih berbahaya dengan Al Qaeda. Sebab, Al Qaeda hanya memusuhi Amerika, sementara ISIS memusuhi siapa saja. Bahkan, ISIS jauh lebih kejam dan lebih radikal. ISIS juga lebih berbahaya karena organisasi ini punya wilayah teritorial.

"Masih banyak orang Indonesia yang mau ke kantong-kantong pergerakan ISIS. Dan ingat, pelaku terorisme rata-rata juga cerdas-cerdas. Kalau tidak pintar, tidak mungkin mereka bisa bikin bom," ujar Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Suhardi Alius.

Penjelasan Suhardi disampaikan dalam ceramah di depan peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 57 Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI, Selasa (10/4).

"Yang patut diwaspadai, ada 500-an warga Indonesia sempat tergabung ISIS, akan kembali ke Indonesia," sebut Suhardi. Bahkan, radikalisme itu sudah menjalar sampai ke usia anak-anak.

Suhardi pun sempat menunjukkan video anak-anak di Suriah yang sudah jago menembak bahkan tidak punya rasa belas kasihan. Dalam video itu diperlihatkan anak-anak sudah mampu memegang senjata laras panjang, bahkan diajarkan membunuh orang dewasa.

Saat video diputarkan, terlihat cuplikan kekejaman dari ISIS. Beberapa peserta bahkan tidak berani melihat video sadis tersebut. Suhardi menyampaikan terpaksa menunjukkan cuplikan kekejaman ini untuk memberikan pemahaman kepada peserta, karena terorisme adalah ancaman nyata yang patut diwaspadai.

Suhardi berbicara di depan peserta PPRA 57 Lemhannas RI. dok pribadi.
Suhardi berbicara di depan peserta PPRA 57 Lemhannas RI. dok pribadi.
"Kalau anak-anak ini pulang ke Indonesia, tentu berpotensi menjadi teroris," sebutnya. Karena itu, ia mengajak siswa Lemhannas untuk mewaspadai hal ini, harus peduli dengan kondisi lingkungan.

Dikatakan, sudah ada 18 anak-anak alumni Suriah di Indonesia, yang dibina dan dirangkul untuk kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). "Anak-anak ini sebelumnya sudah sangat radikal. Tidak punya belas kasihan," katanya.

Yang juga perlu diperhatikan adalah proses penerimaan para mantan narapidana terorisme. "Kadang ada keluarga yang tidak mau menerima, sehingga setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan, merasa putus asa dan kembali melakukan aksi radikal," sebutnya.

Ia mencontohkan Juanda, pelaku bom di Gereja Oikumene, Samarinda Seberang - Kalimantan Timur adalah mantan narapidana terorisme yang tidak diterima oleh keluarganya. Itu sebabnya, selalu diingatkan untuk tidak memarjinalkan mantan terorisme dengan alasan apa pun.

"Perlu peran serta pemerintah daerah untuk menerima para mantan narapidana terorisme ini agar bisa menjalani kehidupan dengan normal dan merasa diterima dengan baik," bebernya. Apalagi, tak ada satu pun provinsi di Indonesia yang aman dari ancaman radikalisme dan terorisme. Semua provinsi, menurutnya sangat rawan. Terutama di wilayah perbatasan.

Dicontohkan, Sulawesi Tengah sempat mau dijadikan basis dari ISIS Asia Tenggara. "Dengan deteksi dini, akhirnya mereka mengalihkan basisnya ke negara lain," katanya.

Suhardi (tengah) bersama peserta PPRA 57 Lemhannas RI. dok pribadi.
Suhardi (tengah) bersama peserta PPRA 57 Lemhannas RI. dok pribadi.
Belum lama ini, BNPT juga mempertemukan 124 mantan teroris dengan 51 korban aksi terorisme. "Mereka saling memaafkan dan saling berkomitmen menjaga keutuhan negara. Ini momen yang sangat mengharukan dan menjadi contoh dunia," tuturnya. Saat ini, BNPT sudah membina 177 mantan teroris yang dilibatkan dalam kampanye damai.

Suhardi juga mengingatkan peran serta media untuk bisa memberitakan aksi radikalisme dan terorisme dengan proporsional. "Jangan sampai, pemberitaan yang dimunculkan justru berpotensi memunculkan sel teroris baru," katanya. Sebagai contoh, saat pelaku terorisme dimakamkan dan diberitakan seolah seperti pahlawan, jelas hal itu akan menumbuhkan sel teroris baru.

Ia menegaskan, terorisme bukanlah ajaran Islam. Ia juga mengaku tidak setuju jika terorisme dikaitkan dengan agama Islam. "Ini sudah menyimpang, bukan lagi ajaran agama Islam," tegasnya. (eff)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun