Pidato Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto terkait Indonesia yang bakal bubar pada 2030, hingga kini masih jadi pembicaraan hangat. Ada pro, ada kontra. Selebihnya ada yang santai-santai saja, bahkan tidak tahu apa-apa. Awalnya, saya pun ikut yang santai-santai saja, karena berusaha selalu memiliki perasaan nyaman dan selalu berpikir positif. Namun, sejak mendapat kesempatan mengikuti Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 57 di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI, mau tidak mau hal seperti ini menjadi salah satu bahan pembicaraan, bahkan kajian menarik.
Ada enam bidang studi inti yang selalu dibahas di Lemhannas. Dari mulai Pancasila dan UUD 1945, Geopolitik dan Wawasan Nusantara, Geostrategi dan Ketahanan Nasional, Kewaspadaan Nasional, Sistem Manajemen Nasional, dan terakhir Kepemimpinan. Walaupun pidato yang disampaikan Prabowo bersumber dari novel Ghost Fleet alias dianggap fiksi, namun jika dilihat dari kajian enam bidang studi inti di atas, Indonesia memang bisa bubar pada 2030.
Dalam grup whatsapp Lemhannas, hampir setiap saat, persoalan ini selalu dibahas. Ada yang selalu mengemuka di dalam obrolan itu, yakni 'ikan busuk dimulai dari kepalanya'. Bubar tidaknya bangsa ini tergantung dari kepala negaranya. Pemimpin bangsa ini harus terus meningkatkan persatuan dan kesatuan dengan pemahaman wawasan nusantara yang utuh.
Kenapa yang disebut di dalam buku Ghost Fleet itu hanya Indonesia yang akan hilang? Kenapa bukan negara ASEAN yang lain? Ada apa dengan Indonesia? Boleh jadi, pihak luar sudah melihat betapa rapuhnya sistem kewaspadaan nasional bangsa ini sehingga dituangkan hal itu dalam bentuk novel.
Sejarah sudah membuktikan, di Indonesia pernah ada kerajaan besar, Sriwijaya dan Mahapahit, namun kemudian runtuh karena tidak kuatnya tingkat kewaspadaan yang dimiliki kerajaan ini.
Indonesia mudah lengah karena luasnya wilayah kepulauan yang memerlukan upaya maksimal dalam penjagaannya. Bukti nyata, begitu mudahnya nelayan asing masuk dan mencuri ikan di Indonesia. Begitu pula peredaran narkoba yang masuk dari berbagai penjuru. Memang banyak yang ditangkap, tapi bagaimana dengan yang lolos? Kita tidak tahu.
Sejengkal tanah pun milik bangsa ini, harus benar-benar dijaga. Ketika membiarkan pihak asing untuk mengelola bahkan memilikinya, tentu hal ini merupakan pintu masuk rapuhnya bangsa ini. Ketika tidak dijaga, maka kasus lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi milik Malaysia, bisa kembali terjadi. Padahal dua pulau ini dulu merupakan bagian dari Kalimantan Utara. Di wilayah utara Kalimantan ini, masih ada beberapa pulau wisata, yang juga dikelola pihak asing. Jika tidak benar-benar diperhatikan, boleh jadi akan kembali terlepas dari genggaman.
Tidak meratanya pembangunan di Indonesia, merupakan gerbang kerapuhan yang harus diwaspadai. Kenapa Timor Leste ingin memisahkan diri? Jelas karena merasa tidak diperhatikan. Andai saja pembangunan di sana sangat pesat dan diperhatikan, tentu tidak mungkin mau lepas. Hitung-hitungannya sudah sangat jelas.
Potensi yang sama bisa terjadi di Papua, Kalimantan dan Sumatera. Sebagai daerah penghasil dengan sumber kekayaan alam melimpah, nyatanya pembangunan di pulau-pulau yang jauh dari Tugu Monas itu tidak seperti di Pulau Jawa. Akibatnya, Aceh menuntut otonomi khusus, disusul dengan Papua. Jika mau jujur, otonomi khusus atau keistimewaan yang diberikan itu menjadi bukti ketidakmampuan bangsa ini memberikan pemerataan pembangunan. Andai saja pembangunan di negara ini adil dan merata sejak dulu, jelas tidak mungkin ada yang menuntut kemerdekaan.
Tapi benarkah hanya wilayah yang jauh dari Tugu Monas saja yang tidak diperhatikan? Awal pekan tadi, peserta PPRA 57 Lemhannas mengikuti outbound ke Kampung Lengkong, Desa Wates Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor -- Jawa Barat. Dilihat dari Google Map, wilayah ini hanya 82 kilometer dari Tugu Monas.Â
Namun nyatanya, saat melakukan anjangsana di kampung ini, masih banyak warga yang rumahnya jauh dari kata layak. Mereka hanya bekerja sebagai buruh garmen dengan penghasilan Rp 350 ribu per minggu. Ketika warga jauh dari kata sejahtera, tingkat ketahanan di wilayah ini jelas sangat rawan. Jika ada pihak luar yang ingin menyisipkan ideologi tertentu dengan iming-iming rupiah, bisa saja mereka tergiur.