Berbagai upaya dilakukan oleh mereka yang menganut seks sejenis agar mendapat pengakuan dari pemerintah. Meski dilihat dari sisi agama mana pun jelas dikatakan menyimpang, namun dengan alasan hak asasi manusia, tuntutan pengakuan itu tetap gencar dilakukan. Lantas, benarkah lesbian, gay, biseks dan transgender (LGBT) adalah sesuatu yang lumrah?
Ustaz Abdul Somad dalam ceramahnya selalu menggambarkan bahwa sesuatu yang dikatakan terus-menerus, boleh jadi lama-lama dikatakan benar. Contohnya seseorang yang membawa kucing, namun setiap kali bertemu orang lain, selalu mengatakan bahwa orang itu membawa anjing. Sekali dua kali, mungkin dianggap salah lihat. Namun jika lebih banyak orang yang mengatakan bahwa yang dibawa adalah anjing, maka boleh jadi si pembawa kucing pun mulai ragu. Jangan-jangan yang dibawa memang anjing, bukan kucing.
Itulah yang sedang dilakukan oleh para penganut seks sejenis. Mereka terus menerus menyampaikan bahwa LGBT adalah normal dan lumrah. Setiap orang dianggap boleh menentukan hidupnya sendiri, terlepas dari norma atau adat hingga agama yang melarangnya. Apalagi jika semakin banyak yang mengatakan bahwa agama adalah urusan pribadi, bukan urusan pemerintah. Jika hal ini terjadi terus menerus dan semakin banyak yang menyuarakannya, maka jangan heran jika suatu saat hal yang nyata menyimpang ini pun kemudian dianggap lumrah.
Satu hal penting yang patut direnungkan oleh mereka yang saat ini masih suka terhadap sesama jenis adalah, bahwa mereka bisa lahir di muka bumi ini karena ada pasangan berbeda jenis. Tidak mungkin mereka ada di dunia ini jika tidak ada pertemuan antara sel sperma dan sel telur. Tidak mungkin mereka bisa menjadi penikmat seks sejenis tanpa adanya proses normal dan alamiah. Manusia tidak lahir dari pabrik yang bisa dibuat dan dicetak kapan saja. Lantas, haruskah setelah lahir kemudian menentang semua ketetapan dari Sang Pencipta?
Belum lama ini dalam sebuah dialog di televisi, ketika ditanya soal keturunan, mereka yang menganut LGBT dengan santai mengatakan, mereka bisa menyewa rahim untuk mendapatkan anak. Secara tidak langsung, ini pun sebenarnya menjadi sebuah mengakuan tersendiri bahwa mereka tetap memerlukan lawan jenis. Mereka tetap memerlukan wanita yang memiliki keistimewaan yakni memiliki rahim. Sekali lagi, mereka tetap memerlukan lawan jenis bukan?
Mohon maaf, lebih dalam lagi, saat gay berhubungan misalnya, benarkah mereka normal? Bisa dikatakan normal adalah, ketika mereka cukup 'main pedang-pedangan' kemudian bisa klimaks. Nyatanya, mereka tetap memerlukan 'lubang', dan itu artinya tetap memerlukan lawan jenis. Hanya bedanya, selama ini mereka lebih suka 'lubang' yang lain.
Begitu pula yang lesbian, bisa dikatakan normal jika ketika cukup dengan saling menggesek, bisa klimaks. Nyatanya mereka tetap memerlukan 'batangan' dan itu artinya tetap perlu lawan jenis. Bedanya selama ini mereka menggunakan 'batangan' palsu.
Maka, dengan segenap permohonan maaf, kepada teman-teman yang masih menganut LGBT, mari tanyakan pada diri terutama pada hati masing-masing, benarkah ini semua normal? Bahkan sampai akhirnya pemerintah pun memberikan pengakuan, benarkah semua dianggap lumrah? Saya yakin seyakin-yakinnya, sesuai fitrah manusia, di dalam hari nurani paling dalam, pasti ingin mengakhiri semuanya dan kembali ke kodrat sesungguhnya.
Sahabat, faktanya LGBT bisa dinormalkan kembali. Banya metode yang bisa dipilih sebagai terapi agar kembali fitrah. Hipnoterapi misalnya, bisa dipilih sebagai salah satu alternatif. Kalau pun mau pakai cara lain, silakan. Yang penting, bisa membantu agar kembali sebagai manusia seutuhnya.
Tak ada kata terlambat untuk memulainya. Yang penting, perlu niat dan keyakinan untuk kembali seperti semula. Silakan kubur masa lalu yang kelam dalam-dalam, marilah kembali terlahir sebagai bayi yang fitrah dan bisa menjalani kehidupan dengan baik.
Sudah banyak yang membuktikan, pelaku LGBT akhirnya bisa kembali menjalani kehidupannya dengan baik dan menikah secara normal. Jika sudah seperti itu, untuk apa lagi mencari kebahagiaan semua yang bahkan hati nurani pun kadang mengingkarinya?
Bukankah manusia diciptakan berpasang-pasangan sesuai kodratnya agar keberlangsungan kehidupan terus terjaga sampai kiamat nanti? Masing-masing individulah yang bisa menjawabnya.
Demikianlah kenyataannya. (*)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H