Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ingat, Jangan Pernah Aniaya Mikrofon

20 Desember 2017   20:15 Diperbarui: 20 Desember 2017   20:26 667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Usai ujian, peserta berhak mendapat gelar nonakademis CPS.

Pernahkah Anda mengetuk atau memukul mikrofon ketika hendak berbicara atau akan menyanyi? Mulai sekarang, jangan pernah melakukannya lagi. Jangan pernah menganiaya mikrofon dengan memukulnya, karena memang pelantang suara itu tidak punya salah apa-apa.

Larangan memukul mikrofon itu adalah satu dari sekian banyak etika yang patut diperhatikan sebagai seorang pembicara publik. Setidaknya, itulah yang saya dapatkan ketika mengikuti kelas pelatihan dan sertifikasi pembicara publik yang digagas Indonesian Professional Speakers Association (IPSA) di Makassar, 15 -- 17 Desember 2017 tadi.

Hari pertama pelatihan memang terungkap begitu banyak hal sepele yang tidak patut dilakukan sebagai pembicara publik. Di antaranya adalah memukul mikrofon sebelum berbicara.

Usai ujian, peserta berhak mendapat gelar nonakademis CPS.
Usai ujian, peserta berhak mendapat gelar nonakademis CPS.
Sekretaris IPSA, Donny De Keizer yang juga seorang penyiar televisi nasional sebagai salah satu pengajar dalam pelatihan itu menyampaikan, jika ingin mencoba mikrofon, langsung saja berbicara. Toh nanti akan ketahuan sendiri jika memang tidak berbunyi.

"Tidak perlu dianiaya, karena memang dia tidak bersalah," pesannya.

Hal lain yang patut diperhatikan adalah, ketika melakukan kesalahan saat berbicara, tak harus panik atau gugup, serta tidak perlu menyampaikan kata 'maaf'. Cukup ganti kata 'maaf' dengan 'maksud saya'. Dengan cara itu, audiens tetap akan memahami apa yang sedang disampaikan.

Sebab, kata 'maaf' hanya akan membuat audiens menganggap sang pembicara tidak siap atau bahkan kurang kredibel dalam penyampaian materi. Yang tidak kalah pentingnya adalah, sebagai pembicara publik tetap harus mengutamakan etika dan kesopanan, tidak boleh angkuh atau sombong. Maka, peserta selalu diingatkan agar posisi dagu harus selalu rendah atau setidaknya proporsional. Jangan sampai terlalu ke atas, nanti kesannya seperti sombong.

Dalam pelatihan itu juga diajarkan olah vokal. Pengajarnya adalah Robby Habibi yang gaya penyampaiannya cukup humoris. Robby menegaskan, suara pembicara harus jelas dan berkarakter. Pria ini pun memberikan teknik khusus agar suara bisa lebih berenergi dan berkarakter. Peserta pun diberikan kesempatan praktik dengan olah vokal yang sudah diajarkan sebelumnya.

Dari kanan, Presiden IPSA Ponijan Liaw, saya, Evianty, dan Sekretaris IPSA Donny De Keizer,
Dari kanan, Presiden IPSA Ponijan Liaw, saya, Evianty, dan Sekretaris IPSA Donny De Keizer,
Sementara Olivia Marzuki, satu-satunya pengajar wanita di acara ini membeberkan bagaimana berpenampilan yang baik. Dari ujung rambut sampai ujung jari kaki, semua harus diperhatikan. Tak hanya itu, cara mengambil benda yang jatuh, cara bersalaman, hingga cara bertukar kartu nama, semua dijelaskan dengan sangat detail.

Sebagai salah satu dari 15 peserta pelatihan itu, saya jelas sangat bersyukur mendapat kesempatan menyerap materi sekaligus praktik, bahkan langsung ujian sertifikasi. Saya benar-benar diajarkan apa saja hal-hal yang harus dimiliki seorang pembicara publik.

Yang paling utama adalah ketika diajarkan bagaimana membuat konsep materi yang teratur, terukur, dan terstruktur. Sehingga, materi yang disampaikan bisa lebih lugas dan jelas, tidak bertele-tele.

Meski saya sudah sering berbicara dalam forum seminar, pelatihan, dan sejenisnya, nyatanya begitu banyak hal yang belum saya ketahui bagaimana menjadi pembicara publik profesional.

Tak hanya teori, peserta juga lebih banyak praktik berbicara di depan publik.
Tak hanya teori, peserta juga lebih banyak praktik berbicara di depan publik.
Saat ujian sertifikasi, suasana semakin tegang. Apalagi dengan kehadiran orang nomor satu di Sulawesi Selatan, H Syahrul Yasin Limpo. Gubernur Sulawesi Selatan itu sebelumnya menerima gelar Certified Public Speaker (CPS) kehormatan dari Presiden IPSA Ponijan Liaw. Usai menerima gelar CPS kehormatan itu, Gubernur Sulsel pun menjadi juri tamu untuk menilai para peserta ujian.

Ketika ujian, saya tampil nomor urut pertama. Baru kali ini saya berbicara langsung di depan Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo. Maklum, saya adalah warga Samarinda, Kaltim, sehingga merasa canggung ketika berbicara di depan gubernur provinsi seberang pulau ini.

Alhamdulillah, saya tetap tenang dan menyampaikan semua materi sesuai dengan alokasi waktu yang diberikan, maksimal 8 menit. Hasilnya, saya dinyatakan lulus dengan predikat terbaik. IPSA memberikan label peserta terbaik ini dengan sebutan Seroja. Selain saya, dua peserta lain dengan predikat Seroja adalah Ketua DPRD Kabupaten Maros HAS Chaidir Syam, dan seorang bankir Jeff Roberto.

Saya pun berhak menuliskan gelar nonakademik CPS di belakang nama sebagai singkatan dari Certified Public Speaker alias pembicara publik tersertifikasi. Gelar CPS ini sudah didaftarkan di Kementerian Hukum dan HAM RI, sehingga para pengguna gelar ini namanya juga tercatat di instansi tersebut. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun