Belakangan ini banyak yang menyampaikan, belajar tidak harus dengan seorang guru. Belajar bisa dengan apa saja dan di mana saja. Pendapat ini boleh jadi benar, namun bisa juga kurang tepat. Sebab, sejatinya yang disebut guru tentulah bukan hanya orang yang benar-benar berprofesi sebagai guru.
Dalam hal ini, guru yang dimaksud adalah guru kehidupan. Hidup tentu bukan semata-mata menguasai persoalan akademis saja. Di dalam universitas kehidupan, guru bisa didapatkan dari mana saja dan siapa saja. Maka bisa dipastikan, belajar tetap memerlukan seorang guru, apa pun bentuknya.
Di era multimedia seperti saat ini, setiap individu tidak lagi dibatasi ruang dan waktu dalam belajar. Bahkan belajar jarak jauh dengan metode online semakin marak. Ini tentu memungkinkan semua orang bisa belajar apa saja, di mana saja. Lalu siapa gurunya? Tentu saja mereka yang sudah memfasilitasi pembelajaran tersebut.
Saat ini, seorang murid bahkan bisa belajar dari seorang guru yang tidak dikenal secara langsung. Pun guru bisa mengajar tanpa mengenal satu demi satu muridnya. Sebab pembelajaran dilakukan menembus ruang dan waktu menggunakan sarana internet.
Namun ada juga guru yang tetap bertahan mengajar dengan metode tradisional, secara tatap muka. Metode ini masih memiliki banyak keunggulan. Bagi sahabat yang sudah melewati beberapa bangku sekolah, bukankah interaksi dengan guru merupakan sesuatu yang sangat berharga? Justru kehadiran guru ini tidak hanya sebatas memberikan ilmu, namun juga memberikan pembelajaran karakter.
Nah, di sinilah letak perbedaan utama antara guru yang mengajar tatap muka dengan guru yang mengajar melalui belantara maya. Interaksi yang terjadi sangat bernilai harganya. Terlebih, melalui interaksi itu pula, seorang guru bisa memberikan saran dan koreksi kepada muridnya. Koreksi ini merupakan sesuatu yang agaknya sulit didapatkan dengan metode pembelajaran online. Belajar tanpa guru memang bisa. Namun, belajar langsung dengan para guru hebat, tentu sangat berbeda hasilnya. Ada banyak hal di luar keilmuan yang bisa dipelajari.
Masih lekat di ingatan, ketika guru saya, Pak Rachmad, seorang guru olahraga sekaligus pembina Pramuka di SMP 33 Surabaya, menyarankan kepada saya untuk menjadi wartawan. Rupanya, beliau memahami bagaimana bakat dan kemampuan saya dalam hal tulis-menulis, sehingga muncullah saran tersebut. Jelas saya merasa sangat beruntung, karena berkat arahan beliau, saya pun akhirnya benar-benar menjadi seorang wartawan.
Begitu pula ketika duduk di bangku SMA 2 Berau, guru bahasa Indonesia, Pak Sumarto pernah mendaulat saya untuk mewakili sekolah mengikuti lomba pidato. Padahal, saya sama sekali tidak merasa pandai bicara di depan umum. Namun, beliaulah yang memberikan arahan dan bimbingan, hingga kemudian saya bisa berlaga dalam lomba pidato hingga tingkat nasional.
Untuk bisa menjadi wartawan, saya pun akhirnya mengenal sosok wartawan di Berau yang kini menjadi kepala Dinas Pariwisata Berau. Mappasikra Mappaselleng, dulu merupakan wartawan harian Manuntung (sekarang Kaltim Post). Berkat kesediaannya mengajarkan saya ilmu jurnalistik tanpa pamrih, akhirnya saya pun bisa mengikuti jejaknya menjadi wartawan Kaltim Post hingga sekarang.
Di Kaltim Post, saya pun memiliki guru yang mengajarkan ketelitian. Syafril Teha Noer, sekarang ketua Dewan Redaksi, sangat detail dan teliti dalam mengoreksi tulisan. Berkat kejeliannya pula, saya akhirnya terbiasa menulis dengan bersih, berupaya tanpa salah kata satu huruf pun. Meski terkadang masih ada terselip kesalahan, itu tandanya saya manusia biasa, terkadang masih bisa silap mata.
Saat menjalankan perusahaan, ketika diberikan amanah memimpin Berau Post, guru saya adalah Zainal Muttaqin. Beliau merupakan sosok guru bijak yang sampai saat ini menjadi panutan di Kaltim Post Group. Dengan tangan dinginnya, perusahaan yang ditanganinya bisa berkembang. Pembelajaran itulah yang memungkinkan Berau Post yang ada saat ini, bisa terus hidup dan berkembang.
Begitu pula sosok Dahlan Iskan, yang juga merupakan guru inspiratif, yang setiap perjalanan hidupnya banyak bisa dijadikan pelajaran. Beruntung, saya juga pernah mengikuti kelas bersama beliau, meski awalnya sempat takut diusir. Kok bisa?
Terdorong rasa ingin belajar dengan beliau, di hari H, saya nekat datang dan masuk ke kelas khusus ini. Jumlah peserta jelas bertambah. Apalagi nama saya tidak masuk dalam daftar. Alhamdulillah, saya tidak diusir dan diperbolehkan ikut kelasnya sampai selesai selama hampir 2 minggu.
Begitu pula ketika mendapat kesempatan belajar teknologi pikiran, dengan Adi W. Gunawan, pemilik Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology Surabaya. Selain belajar secara keilmuan, banyak hal yang bisa dipelajari dari mulai sikap tegas dan kedisiplinan hingga bagaimana belajar menerapkan sebuah standar yang tepat.
Pun dalam hal politik, saya mendapat kesempatan berguru dengan Agus Tantomo. Mualaf yang kini menjadi wakil bupati Berau itu, banyak memberikan pemahaman bagaimana berpolitik. Meski banyak yang mengatakan politik itu 'kejam', namun ilmu politik sepatutnya tetap perlu dipelajari.
Setidaknya itulah wejangan yang diberikan Ustaz Abdul Somad Lc MA, ustaz kondang di media sosial yang kajiannya banyak disimak warga internet. Beliau selalu mengingatkan agar umat juga tetap belajar politik, agar tidak kalah oleh kaum yang mencoba menghancurkan negara dan agama. Beruntung pula saya pernah bertemu langsung dengan Ustaz Abdul Somad, sehingga saya tidak hanya belajar melalui media sosial.
Tentu masih banyak guru lainnya, yang tidak bisa disebutkan satu demi satu. Para guru itulah yang berperan sebagai tukang asah atau tukang gosok. Ibarat berlian, para guru itulah yang membuat diri kita semakin berkilau dan bersinar. Para guru itulah, yang membuat pemikiran kita semakin tajam dan semakin berbobot. Tempaan yang dilakukan oleh para guru itulah yang menentukan kualitas pribadi kita saat ini.
Yang tidak boleh dilupakan adalah guru sepanjang masa yakni kedua orang tua. Sejak lahir hingga nanti tutup usia, beliaulah yang sangat besar peranannya membesarkan dan memberikan didikan maksimal. Ayah wafat ketika usia saya masih 12 tahun. Meski singkat, banyak pelajaran yang diberikan oleh almarhum dan bermanfaat hingga kini. Begitu juga ibu, seorang wanita tangguh yang hingga kini tetap bersemangat menjalani hidup. Dari kedua orang tua, kita tidak hanya mendapatkan pelajaran dan pendidikan. Lebih dari itu, ada doa tulus yang tersemat di setiap ibadahnya, untuk anak-anaknya.
Rasanya tak berlebihan, jika di hari guru ini, marilah kita memanjatkan doa yang tulus dan ikhlas, untuk semua guru. Baik guru di sekolah, maupun guru kehidupan, terlebih untuk kedua orang tua. Semoga, ilmu dan semua pembelajaran yang diberikan bisa menjadi berkah dan bermanfaat hingga di kehidupan yang akan datang. Semoga. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H