Tak tahan dengan sikap suaminya, Viona (bukan nama sebenarnya), melayangkan gugatan cerai ke pengadilan agama, di kota tempat tinggalnya. Banyak sekali tekanan dan beban mental yang ia rasakan, sehingga wanita berusia 32 tahun ini nekat ingin mengakhiri biduk rumah tangganya. Â
"Saya sudah tidak tahan pak. Punya suami, tapi sepertinya tidak ada gunanya," sebut wanita yang juga berwiraswasta ini.
Tak tahan dengan perasaan galau itulah, wanita ini memutuskan ingin melepaskan beban pikirannya. Belum lagi dari sisi fisik, entah sudah berapa kali dia harus ke dokter untuk mengobati sakit sinus serta asam lambung berlebih yang selalu dikeluhkannya.
"Sudah sering berobat ke dokter. Nanti kalau berhenti minum obat, ya kambuh lagi," sambungnya.
Suatu ketika, Viona pernah pergi berobat ke salah satu dokter. Dokter inilah yang menyarankan kepadanya agar sebaiknya menjalani sesi hipnoterapi. "Kayanya ada emosi yang perlu dilepaskan ini. Karena sinus dan asam lambung berlebihnya mudah sekali kambuh," ujar Viona menirukan kalimat dokter tersebut.
Dari hasil menelusuri dunia maya itulah, Viona akhirnya memberanikan diri menjalani sesi hipnoterapi. "Saya takutnya dihipnotis seperti yang ada di TV itu," bebernya.
Agar memahami dan mengerti alur hipnoterapi sesuai standar lembaga Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology, Viona pun diberikan penjelasan sesuai protokol terapi lembaga ini. Setelah mendapat penjelasan lengkap dan runut, akhirnya wanita ini mengaku siap dan bersedia menjalani sesi terapi yang diinginkan. Tujuan terapinya jelas, ingin menghilangkan perasaan galau sekaligus benci kepada suaminya sendiri. Â
Dengan mudah, Viona dibimbing masuk ke kondisi pikiran yang dalam dan menyenangkan. Setelah berada di kedalaman yang presisi, proses hipnoanalisis pun dilakukan dengan teknik khusus. Hasilnya, ada beberapa penyebab yang menjadikan perasaan benci kepada suami semakin besar dan memuncak.
Beberapa kejadian di masa lalu yang menjadikannya semakin benci terhadap suaminya adalah, saat masih di bangku SLTA dan kuliah, Viona pernah diputus oleh pacarnya.
Namun, yang benar-benar menjadi akar masalah dari apa yang dialami Viona adalah, tuntutan dari ibunya ketika ia masih duduk di kelas satu sekolah dasar (SD). Di bangku kelas satu itu, Viona selalu dituntut mencapai ranking satu oleh mamanya. Pada momen inilah perasaan benci itu pertama kalinya dia rasakan.
Besarnya tuntutan dan tekanan dari mamanya itulah yang ternyata membekas kuat di pikiran bawah sadarnya. Dari proses penelusuran pikiran bawah sadar Viona ini juga diketahui, mamanya menuntut agar anaknya meraih ranking satu karena suatu alasannya. Yakni, karena sang mama tidak pernah berhasil menduduki peringkat tersebut.
Perasaan tidak nyaman dengan mamanya inilah yang kemudian dibimbing untuk dinetralisir menggunakan beberapa teknik terapi yang efektif. Hasilnya, wanita ini mengaku lega dan plong.
Saat dicek untuk kembali berkomunikasi dengan suaminya, Viona mengaku biasa saja. Tidak ada lagi perasaan benci dan sakit hati. Hingga teknik pemindaian terakhir dilakukan ke seluruh bagian dirinya, Viona tetap merasa sudah tenang dan nyaman. Â
Mengambil hikmah dari apa yang dialami Viona di atas, ada baiknya para orang tua tidak semena-mena menuntut anaknya harus selalu mendapatkan ranking satu atau prestasi terbaik. Nyatanya, tuntutan orang tua seperti ini, hanya akan membuat anak semakin terbebani, dan bukan tidak mungkin akan mengalami trauma seperti yang dirasakan Viona.
Demikianlah kenyataannya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H