Beberapa sekolah dasar di Samarinda sudah rutin bekerja sama dengan saya. Karena itu, ketika ada murid yang dianggap bermasalah atau membuat ulah, maka guru sekolah biasanya akan langsung merekomendasikan orang tuanya untuk membuat janji konsultasi. Â
Beberapa hari lalu, salah satu orang tua murid dari sebuah sekolah dasar menghubungi saya. Dia menyampaikan, anaknya sudah membuat gurunya kewalahan dengan semua sikap dan tingkahnya.
"Anaknya selalu bertindak sesuka hati. Nanti ngga mau nulis. Kadang mengganggu temannya. Saya sampai stress pak," sebut ibu ini dari ujung telepon. Dari suaranya terdengar ada kecemasan yang membuatnya tak tahu lagi harus berbuat apa. Tak ingin berlarut-larut, saya langsung meluangkan waktu keesokan harinya, untuk janji bertemu membicarakan masalah anaknya.
Sesuai kesepakatan, keesokan harinya saya berkunjung ke sekolah tersebut, dan meminta ruangan khusus agar bisa berbincang dengan murid yang dianggap bermasalah, didampingi orang tuanya.
Dari hasil bincang santai dengan sang murid, tidak terlihat ada yang aneh, semuanya normal. Namun dari sikapnya bisa diketahui, ada pola asuh yang kurang tepat.
Tanpa menunggu penjelasan dari ibunya, saya langsung mencoba beberapa kesimpulan. Di antaranya, anak ini selalu mengendalikan orang tuanya. Anak ini selalu berhasil menyusahkan orang tuanya.
"Ya pak, betul sekali. Saya sudah kewalahan. Tidak tahu lagi harus berbuat apa. Sudah coba dibujuk-bujuk, tetap saja sikapnya tidak berubah," katanya.
Sahabat, dari pengalaman di ruang praktik, selalu ada kesamaan kesimpulan. Apa itu? Tidak ada anak yang bermasalah. Umumnya, orang tua yang membuat anaknya bermasalah. Dari kasus di atas, pola asuh yang kurang tepat adalah, orang tua tidak berhasil memegang kendali atas anaknya sendiri.
Anak-anak selalu punya senjata ampuh dan pamungkas. Menangis atau mengamuk, bahkan kombinasi dari keduanya. Biasanya, orang tua akan langsung lemah dan tidak berdaya jika anaknya berbuat seperti ini. Hasilnya, orang tua langsung luluh dan menuruti semua kemauan anak.
"Ketimbang ngamuk, mending dituruti," begitu biasanya orang tua memberikan alasan.
Lalu bagaimana cara mengatasinya? Sabar. Sebelum bicara solusi, mari menengok sebentar ke belakang, apa yang menjadikan anak mengamuk atau mudah menangis. Tangisan dan amukan adalah cara anak menyampaikan pesan bahwa dia membutuhkan perhatian dan kasih sayang.
Coba diingat, pernahkah Anda sebagai orang tua, lebih memilih memberikan anak gadget ketimbang anak keluyuran atau bertindak yang aneh-aneh. Lebih senang melihat anak duduk anteng tenang menatap layar smartphone, sehingga sebagai orang tua bisa bebas melakukan apa saja. Kalau sudah seperti ini, maka jangan heran jika anak memiliki orang tua baru, bernama smartphone. Â Â
Seperti sudah saya tuliskan sebelumnya, umumnya anak yang bermasalah karena kekurangan perhatian. Baterai kasih sayang anak umumnya dibiarkan kosong sehingga anak menjadi mudah cemas dan sulit konsentrasi.
Penyebab lain biasanya karena anak kesepian karena orang tuanya sibuk bekerja, serta perhatian anak terpecah antara ingin belajar dan main gadget. Persoalan lain adalah anak merasa tidak berdaya karena tidak ada kehadiran orang tuanya dalam hidup mereka untuk membantu mengatasi masalahnya.
Hal lain yang juga terkadang menjadi masalah adalah, kondisi di rumah kurang representative untuk belajar. Misalnya, saat anak disuruh belajar, orang tuanya justru menonton televisi atau bermain smartphone. Anak tidak punya tempat belajar khusus.
Bisa juga disebabkan orangtua yang sering bertengkar sehingga membuat anak tidak nyaman bahkan trauma melihat pemandangan tidak nyaman tersebut.
Penyebab lain, orang tua terkadang tidak sadar memberikan program kurang tepat dan disampaikan berulang-ulang. Misalnya kalimat, "anak ini nakal", "anaknya malas", "anaknya susah konsentrasi", dan berbagai kalimat negatif yang diucapkan berulang-ulang. Secara tidak disadari, kalimat itu justru menjadi program yang masuk ke dalam pikiran bawah sadar anak dan berjalan dengan baik.
Kembali ke masalah anak di atas tadi. Salah satu hal yang sulit dikendalikan adalah ketergantungan smartphone. Sang ibu pun mengakui, sejak kecil usia 3 tahun, sudah dibiarkan pegang gadget, dengan alasan biar tidak merepotkan. Nyatanya, kebiasaan ini berlanjut sampai dewasa dan anak menjadi sulit belajar dan susah dikendalikan.
Dari penjelasan yang saya sampaikan, sang ibu akhirnya mengakui, banyak pola asuh yang kurang tepat. Di antaranya terlalu permisif dan tidak disiplin dalam memberikan perintah. Ketegasan dan kejelasan dalam memberikan perintah pada anak sangat diperlukan.
Maka, ibu dari anak ini diingatkan kembali untuk tegas dan terukur terhadap anaknya. Terkait smartphone, yang perlu dilakukan adalah harus "membeli" smartphone itu dari anaknya. Tentu harus benar-benar diberi uang, dan diarahkan untuk ditabung. Supaya apa? Agar status kepemilikan smartphone berpindah dari milik anak, menjadi milik orang tuanya. Maka sejak itu, smartphone bukan lagi milik anak, namun bisa dipakai dengan sistem pinjam. Karena pinjam, maka sudah bisa ada ketegasan aturan yang perlu diterapkan. Ketika anak melanggar, maka status pinjamnya bisa dicabut. Hal ini jelas tidak bisa dilakukan kalau status smartphone masih milik anak.
Lagi pula, jika tetap mengambil smartphone sebelum dilakukan "pembelian'" maka sama saja orang tua sedang mengajarkan pada anak, boleh merampas barang milik orang lain. Â Â
Setelah cukup lama berbincang, sang anak ini menghampiri ibunya. "Ma, aku ngga mau bimbel, ayo pulang," kata anak ini. Saya kemudian mengajak ibunya mulai mengendalikan anaknya dengan tegas. Cukup satu kata yang disampaikan, "bimbel".
Sang anak mengamuk, kemudian mulai memukul ibunya. Saya ajarkan ibunya untuk mengelak dan tidak membiarkan dirinya sebagai samsak hidup. Orang tua harus dihormati dan dihargai, maka harus ada ketegasan. Sekali lagi, saya ajarkan ibunya mengatakan satu kata "bimbel" dengan tegas namun tetap tenang, tanpa amarah.
Hasilnya luar biasa. Sang anak merasa kalah dan luluh, tak lama kemudian, anak ini pun langsung berkata, "ya udah aku bimbel aja," sembari berlari menuju kelasnya.
Sang ibu jelas kaget dan tidak menyangka, perubahan sikap itu bisa mengalahkan anaknya. "Kok bisa ya pak, padahal tadi mati-matian ngga mau bimbel. Ternyata selama ini saya yang salah, kurang tegas," akunya.
Keesokan harinya, ibu ini juga kembali mengirimkan pesan melalui whatsapp terkait perubahan perilaku anaknya yang lain.
Demikianlah kenyataannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H