Tiga bulan lalu, pasangan suami istri datang untuk konsultasi. Tapi kali ini saya merasa ada yang ‘ganjil’. Biasanya, saat sesi penjelasan kepada pasangan suami istri, umumnya aktif bertanya dan meminta penjelasan detail terkait proses yang akan dilakukan. Pasangan yang datang kali ini, lebih banyak diam dan lebih banyak menggunakan bahasa isyarat di antara keduanya. Saling berpandangan dengan pasangannya, namun tak menyampaikan apa pun.
“Ada yang ingin ditanyakan?” tanya saya mencoba memecah suasana. Namun pasangan ini hanya menggeleng dan membiarkan saya meneruskan penjelasan hingga tuntas.
Usai diberikan penjelasan, pasangan ini pun meminta waktu berdua untuk berdiskusi kembali, apakah benar-benar ingin menjalani sesi hipnoterapi atau tidak. Hingga akhirnya, pasangan ini kembali memanggil saya dan siap menjalani sesi hipnoterapi.
“Istri saya sudah siap pak,” ujar sang suami. Ternyata, hanya istrinya saja yang ingin diterapi. Lalu, masalahnya apa? “Bolehkah saya sampaikan di ruang terapi saja pak biar nyaman,” jawab sang istri. Termasuk untuk proses pengisian formulir, dia meminta diulang kembali karena formulir yang sebelumnya saya minta isi saat baru datang, belum ditulis secara spesifik masalah apa yang ingin diatasi.
“Maaf pak, kami memang sempat ragu, apakah metode ini bisa mengatasi masalah kami. Sekarang kami yakin, istri saya membutuhkan bantuan,” sambung sang suami.
Klien wanita ini kemudian saya persilakan untuk masuk ruangan terapi dan duduk di kursi terapi. Klien juga saya beri waktu untuk mengisi formulir kembali dengan lebih jelas dan detail. Sementara itu saya lebih banyak berbicara dan diskusi tentang masalah lain dengan suaminya di ruang tamu. Setelah mengisi formulir, klien wanita ini pun memberi tahu saya, sehingga saya kembali ke ruang terapi dan mencoba mencari tahu, masalah apa yang ingin diatasi.
Ternyata, dari formulir yang diisi, wanita ini mengalami vaginismus. “Takut dan cemas setiap akan melakukan hubungan suami-istri,” demikian tulisan yang tercantum di formulir tersebut. Akibatnya apa? Wanita yang ternyata pengantin baru ini, masih virgin alias perawan, meski sudah dua bulan menjalani pernikahan.
“Saya merasa kasihan dengan suami saya, untungnya dia sabar dan terus menenangkan saya. Sampai akhirnya kami memutuskan meminta bantuan bapak,” sebut wanita ini.
Dari data di formulir terungkap, emosi cemas dan takut berada di angka maksimal. Selain itu, reaksi fisik yang muncul setiap kali akan menunaikan kewajiban sebagai istri adalah, perut sakit melilit dan migrain.
Yang sangat mendukung adalah, keinginan wanita ini untuk mengatasi masalahnya, sangat tinggi. Hanya perlu waktu 5 menit untuk membawa klien ini masuk ke kondisi pikiran bawah sadar yang presisi untuk terapi. Begitu masuk ruang terapi, klien memang sudah sangat pasrah dan ikhlas, sehingga cukup mudah dibimbing untuk berada di kedalaman profound somnambulism.
Proses hipnoanalisis pun dilakukan untuk mencari akar masalah. Dari proses ini diketahui ada perasaan tidak nyaman setiap kali membaca atau melihat berita tentang pemerkosaan atau pencabulan. Namun hal tersebut ternyata hanya dampak lanjutan. Pikiran bawah sadar klien kembali dibimbing untuk menemukan akar masalah takut dan cemas berlebihan tersebut. Klien akhirnya mendarat di usia 8 tahun, ketika kakak sepupunya mencoba memperkosa dirinya.