Ketika itu, klien sedang di rumah kerabatnya karena sedang ada acara keluarga. Suasana di rumah itu sedang ramai. Klien yang masih berusia SD ini diajak bermain oleh sepupunya laki-laki yang sudah SMA untuk bermain di lantai atas. Ternyata, klien diajak menonton video porno, dan saat itulah percobaan pencabulan dilakukan. Beruntung, klien berontak dan kabur.
Sejak saat itu klien memang pemurung dan penyendiri, namun tidak berani menyampaikan kejadian tersebut kepada siapa pun, sampai akhirnya dia menikah. Selama sekolah sampai kuliah dan bekerja, klien pun tidak pernah berpacaran, karena trauma dengan laki-laki. Dia akhirnya berani menikah, setelah pamannya yang seorang ustaz, memberikan jaminan pria yang akan menikahi dirinya, sangat baik dan taat beragama. Pria itu juga tidak pernah berpacaran.
Hanya perlu waktu tiga bulan untuk saling taaruf, mengenal secara singkat, pernikahan pun digelar dengan sederhana. Namun, wanita 23 tahun ini ternyata sangat cemas ketika mencoba menunaikan kewajibannya.
“Suami saya sebenarnya tetap sabar, tapi ya saya yang merasa tidak nyaman,” ucapnya sebelum proses terapi dilakukan.
Kembali ke proses terapi, klien akhirnya dibimbing untuk mengatasi trauma atas percobaan pemerkosaan yang dialami ketika masih berusia 8 tahun itu. Dengan teknik khusus untuk mengatasi trauma, klien akhirnya berhasil merasa lega dan plong. Masih di kedalaman pikiran bawah sadar, klien juga diberi waktu untuk mencoba kembali menunaikan kewajibannya sebagai istri.
Klien akhirnya mengaku merasa lebih nyaman dan yakin bisa melakukannya. Proses ini dilakukan beberapa kali, namun tetap merasa nyaman dan merasa tidak ada masalah. Proses restrukturisasi dan konfirmasi tuntas, klien akhirnya dibimbing kembali untuk keluar dari kondisi relaksasi tersebut.
Begitu klien buka mata, dia terlihat semringah dengan senyum mengembang. “Jadi malu,” ucapnya. “Tidak apa-apa, semua demi kebaikan mbak dan suami kan?” ucap saya seraya mempersilakan dia menemui suaminya di luar ruang terapi.
Dengan senyum mengembang, segera dia hampiri suaminya dan memeluknya dengan mesra. Saya tentu tidak ingin mengganggu momen tersebut, sehingga keduanya saya beri waktu agar si istri menyampaikan perasaan yang sudah dirasakan.
Begitu saya kembali di ruang tamu, kali ini tak hanya istrinya yang senyum, suaminya juga ikut tersenyum bahagia. “Terima kasih banyak pak,” ucap suaminya.
Tiga bulan berlalu, saya pun sudah lupa dengan pasangan ini. Hingga akhirnya tadi siang, saat menghadiri undangan di Kantor Gubernur Kaltim, saya menerima pesan singkat. “Alhamdulillah pak, istri saya positif. Terima kasih ya pak atas bantuannya,” sebut pesan singkat ini.
Saya masih sedikit bingung menerima pesan ini. “Positif apa?” tanya saya dalam hati. Namun, saya hanya membalas singkat, “sama-sama, semoga bermanfaat.”