Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merasa Bahagia? Jangan Berhenti Merokok

24 Agustus 2016   09:48 Diperbarui: 24 Agustus 2016   10:04 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source: bp2.blogspot.com

Akan tetapi, ketika seseorang ingat bahwa merokok itu buruk, maka akan timbul rasa bersalah. Kalau sudah rasa bersalah ini muncul, maka pengaruh positif rokok yang mampu memproduksi hormon kebahagiaan tadi, akan hilang seketika. Gantinya akan muncul pengaruh negatif di dalam tubuh.

Saat seseorang merokok dalam jumlah banyak dan menikmatinya, hormon-hormon kebahagiaan akan dilepaskan. Namun terkadang muncul perasaan negatif, “Ah lagi-lagi aku morokok. Jangan-jangan sebentar lagi aku terkena kanker paru-paru.” Atau “Jangan-jangan aku kena penyakit jantung karena kebanyakan merokok.” Jika perasaan negatif ini yang muncul, maka hormon yang diproduksi akan membuat si perokok sakit.

Apa yang saya tuliskan tersebut merupakan pendapat Dokter Shigeo Haruyama dalam bukunya The Miracle of Endorphin alias Keajaiban Hormon Kebahagiaan.

Itu sebabnya, jika memang masih ingin menikmati rokok, maka tidak boleh ada rasa bersalah sedikit pun saat melakukannya. Ini pula yang menjadi penyebab, kenapa tidak sedikit mereka yang sudah berusia lanjut, tetap merokok dan masih sehat walafiat. Boleh jadi rokok yang diisap memang benar-benar dinikmati, sehingga hormon kebahagiaan yang berlimpah bisa mempertahankan hidup sang perokok tersebut. Selain faktor X lainnya yakni hidup dan mati memang urusan Yang Maha Kuasa. 

Yang jadi masalah adalah, ketika perasaan bersalah si perokok ini justru muncul karena sering dimarahi atau diomelin oleh pasangannya. Alih-alih mendapat suplai hormon kebahagiaan di dalam tubuh, yang terjadi perokok ini semakin stres dan akhirnya apa yang ditakutkan oleh pasangan, akan benar-benar terjadi.

Tuh lihat bapakmu, merokok terus kaya kereta api. Nanti kalau kena penyakit jantung, baru tahu rasa,” begitu biasanya sang istri mengomel di depan suami dan anaknya. Niatnya mungkin baik, mengingatkan. Tapi ingat, sang perokok sedang dalam kondisi menikmati isapannya. Ini artinya, pikiran bawah sadar sedang aktif. Nah, saat aktif justru dijejali informasi yang salah, yaitu ‘sakit jantung’, maka pikiran bawah sadar akan melaksanakan perintah tersebut. Hasilnya, bukan lagi hormon kebahagiaan yang tersebar di seluruh tubuh, melainkan hormon stres yang memicu kerusakan sel.

Pikiran bawah sadar memang bekerja seperti apa yang diperintahkan. Mereka yang pikirannya selalu diliputi perasaan bahagia, biasanya jarang sakit dan bermasalah. Perasaan bahagia itulah yang mencegah kerusakan sel-sel dalam tubuh. Sehingga mereka yang selalu bahagia, termasuk selalu berpikir positif, akan memiliki kesempatan hidup lebih lama dan awet muda serta selalu bersemangat.

Namun demikian, tentu yang lebih baik adalah hidup selalu diliputi rasa bahagia dan tanpa kehadiran rokok di lingkungan Anda. Selain udara tetap segar, umumnya keluarga juga tidak merasa terganggu dengan asap yang ada.

Bagaimana menurut Anda?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun