Angklung telah menjadi penutup yang manis di ajang Pekan Olahraga Wartawan (Porwanas) XII di Bandung – Jawa Barat yang dihelat sejak 25 sampai 30 Juli 2016 tadi.
Alat musik melodi dari bambu dan kini diakui sebagai salah satu warisan dunia ini, benar-benar mencairkan suasana penutupan Porwanas di Gedung Sate, dihadiri Menteri Pemuda dan Olahraga RI Imam Nahrowi serta sang tuan rumah Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan.
Di akhir prosesi penutupan, semua undangan, termasuk saya, mendapat sebuah angklung. Gedung Sate yang awalnya tenang, menjadi riuh dengan suara angklung. Setiap orang yang sudah mendapat bagian, mencoba menggoyangkan alat musik ini.
Setiap orang, tentu mendapatkan nada berbeda-beda. Saya kebagian nada “re” alias nomor “2”. Yang lainnya juga mendapatkan angklung sesuai urutan melodi. Dari nada dasar “do” sampai “do” tinggi.
Bak murid taman kanak-kanak yang mendapat mainan baru, terlihat wajah para tamu undangan, termasuk para ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dari seluruh provinsi di Tanah Air, kegirangan memegang angklungnya masing-masing.
Sang dirigen, seorang wanita dengan kebaya khas mojang priangan, tak lupa memberikan arahan dan kode khusus. Dengan tangan kanannya, wanita ini memberi aba-aba agar setiap orang tahu, kapan saat yang tepat menggerakkan angklungnya.
Dahsyat, kursus singkat sampai lima menit, semua hadirin di aula Gedung Sate itu langsung memahami arahan yang diberikan. Lagu-lagu Broery Marantika, serta tembang-tembang lawas, dengan ciamik terdengar nyaman di telinga.
Karena kebagian nada “re”, saya harus bersabar. Lagu-lagu lawas umumnya bernada tinggi, sehingga saya lebih banyak menjadi penikmat dan hanya sesekali kebagian menggerakkan angklung.
Sebagai pamungkas, lagu “We Are The Champion” benar-benar terdengar sangat manis, hingga harmoni merdu itu benar-benar melekat di pikiran bawah sadar.
Pembaca yang budiman. Alat sederhana dari bambu itu hanya akan terdengar indah ketika dibunyikan tepat pada waktunya. Jika kurang tepat ketika menggerakkannya, otomatis, melodi yang tercipta menjadi kurang nyaman di telinga.
Saya misalnya, sebagai pemegang nada “re” harus sabar menunggu giliran. Bahkan jika dalam satu lagu hanya muncul satu kali, atau tidak ada sama sekali, ya tidak masalah. Sebab, jika bukan giliran “re” namun saya tetap memaksa menggoyangkan sang angklung, bisa dibayangkan, bagaimana bunyi musik yang dimainkan. Alih-alih ingin menciptakan hamonisasi nada yang indah, yang terjadi malah kacau.