“Sekarang saya bisa mengambil kesimpulan, usaha apa pun, harus diawali dengan perasaan yang nyaman. Kalau masih ada mental block (hambatan diri), akan sulit,” sebut beliau.
Cukup panjang proses pencarian jati diri dilakukan Pak Yana. Dari mulai membaca buku, hingga berguru ke banyak orang. Apalagi latar belakangnya memang pernah di pesantren, praktis sudah terbiasa nyantri.
Hingga suatu ketika, beliau membaca sebuah buku milik Bante Karyadi yang berjudul Sembuh dengan Hipnoterapi. Dari sini, dia kemudian mencoba dan cari tahu, apakah hambatan diri yang mempengaruhi. Sempat kontak dengan Bante Karyadi, beliau sempat akan terbang ke Medan, untuk menemui Bante, dan minta terapi. Namun, oleh Bante yang juga alumnus Adi W. Gunawan Intitute of Mind Technology (AWGI), Pak Yana diarahkan agar terapi dengan alumni yang ada di Bandung.
Bertekad untuk menghilangkan semua perasaan tidak nyaman di dalam dirinya, Pak Yana akhirnya menjalani hipnoterapi dengan salah satu terapis di Bandung. Ternyata benar. Ada akar masalah di masa lalu yang menjadi penghambat usahanya. Sumber masalah inilah yang kemudian dicabut dan membuat beliau nyaman dan plong. Sejak itulah, dia semakin nyaman menjalankan usahanya.
“Ya dulu di pesantren, dengan guru dan kiai, selalu diajarkan bagaimana untuk ikhlas, lepaskan masalah agar nyaman. Tapi bagaimana caranya? Proses mencari cara untuk melepas masalah itulah yang akhirnya mempertemukan saya dengan hipnoterapi,” bebernya.
Kini, dia menjalankan bisnisnya dengan nyaman. Masa lalunya yang sempat membuat dirinya kurang nyaman, benar-benar sudah dilepaskan. “Belajar dari pengalaman masa lalu, sekarang saya menjalankan bisnis ini dengan hati,” tuturnya.
Bagaimana prinsip bisnis dengan hati? “Para karyawan saya anggap anak sendiri. Mereka semua panggil saya ‘ayah’. Saya benar-benar menghargai keberadaan mereka,” tuturnya.
Bahkan, ada beberapa karyawan yang disekolahkan di jurusan perhotelan. Ilmu dari bangku sekolah itulah yang kemudian diterapkan juga dalam usaha kuliner yang digeluti ini. Usaha kulinernya pun, oleh beliau dianggap sebagai sekolah. “Ini sebenarnya sekolah kuliner. Sekolah informal, tidak ada ijazahnya. Tapi siapa saja yang mau belajar, seminggu aja sebenarnya bisa,” urainya.
Dengan prinsip manajemen hati, terbukti para karyawannya sangat loyal. Begitu ada karyawan yang sudah pandai dan bisa menguasai cara pengolahan makanan, minuman serta manajemen, karyawan inilah yang biasanya diberikan kepercayaan ketika membuka cabang baru. “Pokoknya sekarang ya mereka semua yang mengurusi bisnis ini,” sambungnya.
Selain membuka cabang sendiri, ada pula yang kerja sama dengan pihak lain. “Soal kerja sama, saya tidak pakai sistem franchise yang mungkin merugikan pihak lain. Harus sama-sama menguntungkan,” ujarnya. Saat saya ngobrol pun, terlihat bartender yang dimiliki, sedang memberikan training kepada peracik minuman yang akan disiapkan untuk cabang lain.