Hari pertama sekolah merupakan momen penting dalam tumbuh kembang anak. Transformasi dari anak rumahan menjadi anak sekolahan, memerlukan dukungan maksimal dari para orang tua. Jika tidak, dampak negatifnya bisa dirasakan sampai usia dewasa.
Tak semua anak bisa beradaptasi dengan mudah dengan lingkungan yang baru termasuk dengan orang asing. Maka, dukungan dari orang tua memang sangat diperlukan. Karena itu, upaya yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan meluncurkan Gerakan Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah, patut diapresiasi.
Kedengarannya sepele dan terlalu remeh temeh. Masa iya sih Menteri Pendidikan harus mengurusi hal-hal yang simpel seperti ini? Sampai-sampai membuat edaran resmi agar para orang tua mau mengantarkan anaknya sekolah di hari pertama.
Meme atau gambar unik pun bertebaran akibat kebijakan ini. Tak ketinggalan cerita-cerita lucu yang tersebar di media sosial dengan cepat, gara-gara gerakan ini. Terlepas apa pun respons yang muncul, baik itu serius atau bercanda, namun ini menandakan gerakan tersebut sukses dan diterima masyarakat luas. Lantas, sebegitu pentingkah mengantarkan anak di hari pertama sekolah?
Dulu, sebelum menekuni dunia teknologi pikiran dan belajar soal pengasuhan anak (parenting), saya pun berpikiran bahwa urusan mengantar anak sekolah itu biasa saja. “Ah, lama-lama juga nanti berani dan terbiasa.” Itulah anggapan orang tua secara umum.
Namun siapa sangka, hari pertama masuk sekolah bisa menimbulkan trauma berkepanjangan. Seperti kasus yang saya temui di ruang praktik. Hanya gara-gara kejadian di hari pertama masuk sekolah, dampaknya menyebabkan klien wanita berusia 34 tahun ini, takut menjalani proses kehamilan.
Sebelum proses terapi, Ani diberikan penjelasan mengenai alur dan proses penggalian informasi di pikiran bawah sadar yang akan dilakukan. Setelah penjelasan selesai, wanita ini menyetujui dan bersedia dibimbing mengalami relaksasi yang dalam dan menyenangkan.
Setelah Ani berada di kedalaman pikiran bawah sadar yang presisi, proses pencarian akar masalah pun dilakukan. Terungkap, rasa cemas menjalani kehamilan muncul ketika periksa di dokter kandungan. Wanita yang bekerja sebagai pegawai negeri ini kemudian dibimbing lebih mundur lagi ke masa lampau, untuk mengetahui rasa cemas pertama kali muncul. Saat itulah Ani mendarat di usia 5 tahun, saat pertama kali masuk di Taman Kanak-kanak.
Ani menjelaskan, dirinya sedang berada di kelas saat hari pertama sekolah. Sebelumnya, Ani memang diantar mamanya ke sekolah. Namun saat proses belajar berlangsung, mamanya sengaja sembunyi agar tidak dilihat Ani. Akibatnya, Ani panik dan bingung. Ia sampai keluar kelas dan menangis mencari mamanya, namun sang mama tetap enggan keluar dari persembunyian. Si mama memilih hanya memantau dari kejauhan.
Saya sempat cek mundur lagi untuk memastikan apakah ada kejadian cemas lain sebelumnya? Ternyata tidak ada. Hari pertama masuk sekolah itulah yang menyebabkan rasa cemas berlebihan itu muncul dan terbawa hingga dewasa. Inilah akar masalah yang menyebabkan Ani takut dan cemas menjalani kehamilan.