Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Takut Hamil dan Gagap karena Trauma di #HariPertamaSekolah

19 Juli 2016   00:14 Diperbarui: 19 Juli 2016   19:21 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: health.liputan6.com

Hari pertama sekolah merupakan momen penting dalam tumbuh kembang anak. Transformasi dari anak rumahan menjadi anak sekolahan, memerlukan dukungan maksimal dari para orang tua. Jika tidak, dampak negatifnya bisa dirasakan sampai usia dewasa.

Tak semua anak bisa beradaptasi dengan mudah dengan lingkungan yang baru termasuk dengan orang asing. Maka, dukungan dari orang tua memang sangat diperlukan. Karena itu, upaya yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan meluncurkan Gerakan Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah, patut diapresiasi.

Kedengarannya sepele dan terlalu remeh temeh. Masa iya sih Menteri Pendidikan harus mengurusi hal-hal yang simpel seperti ini? Sampai-sampai membuat edaran resmi agar para orang tua mau mengantarkan anaknya sekolah di hari pertama.

Meme atau gambar unik pun bertebaran akibat kebijakan ini. Tak ketinggalan cerita-cerita lucu yang tersebar di media sosial dengan cepat, gara-gara gerakan ini. Terlepas apa pun respons yang muncul, baik itu serius atau bercanda, namun ini menandakan gerakan tersebut sukses dan diterima masyarakat luas. Lantas, sebegitu pentingkah mengantarkan anak di hari pertama sekolah?

Dulu, sebelum menekuni dunia teknologi pikiran dan belajar soal pengasuhan anak (parenting), saya pun berpikiran bahwa urusan mengantar anak sekolah itu biasa saja. “Ah, lama-lama juga nanti berani dan terbiasa.” Itulah anggapan orang tua secara umum.

Namun siapa sangka, hari pertama masuk sekolah bisa menimbulkan trauma berkepanjangan. Seperti kasus yang saya temui di ruang praktik. Hanya gara-gara kejadian di hari pertama masuk sekolah, dampaknya menyebabkan klien wanita berusia 34 tahun ini, takut menjalani proses kehamilan.

sumber: prokal.co
sumber: prokal.co
Sebelumnya, klien –sebut saja namanya Ani-, datang dengan keluhan rasa takut dan cemas yang berlebihan. Ani sangat ingin hamil lagi, namun sangat takut menjalani kehamilan itu. Di rentang angka nol sampai 10, rasa takut dan cemas terkait kehamilan dua-duanya berada di angka 10. Rasa takut dan cemas berlebihan ini membuat klien kurang nyaman dan tidak leluasa melakukan apa pun.

Sebelum proses terapi, Ani diberikan penjelasan mengenai alur dan proses penggalian informasi di pikiran bawah sadar yang akan dilakukan. Setelah penjelasan selesai, wanita ini menyetujui dan bersedia dibimbing mengalami relaksasi yang dalam dan menyenangkan.

Setelah Ani berada di kedalaman pikiran bawah sadar yang presisi, proses pencarian akar masalah pun dilakukan. Terungkap, rasa cemas menjalani kehamilan muncul ketika periksa di dokter kandungan. Wanita yang bekerja sebagai pegawai negeri ini kemudian dibimbing lebih mundur lagi ke masa lampau, untuk mengetahui rasa cemas pertama kali muncul. Saat itulah Ani mendarat di usia 5 tahun, saat pertama kali masuk di Taman Kanak-kanak.

Ani menjelaskan, dirinya sedang berada di kelas saat hari pertama sekolah. Sebelumnya, Ani memang diantar mamanya ke sekolah. Namun saat proses belajar berlangsung, mamanya sengaja sembunyi agar tidak dilihat Ani. Akibatnya, Ani panik dan bingung. Ia sampai keluar kelas dan menangis mencari mamanya, namun sang mama tetap enggan keluar dari persembunyian. Si mama memilih hanya memantau dari kejauhan.

Saya sempat cek mundur lagi untuk memastikan apakah ada kejadian cemas lain sebelumnya? Ternyata tidak ada. Hari pertama masuk sekolah itulah yang menyebabkan rasa cemas berlebihan itu muncul dan terbawa hingga dewasa. Inilah akar masalah yang menyebabkan Ani takut dan cemas menjalani kehamilan.

Proses restrukturisasi pikiran bawah sadar pun dilakukan. Trauma akan kejadian di hari pertama masuk sekolah itu dinetralisasi. Hasilnya, klien merasa sangat nyaman dan plong. Ani pun merasa tidak takut lagi menjalani kehamilan. Ia yakin, bisa punya anak lagi, karena saat ini baru memiliki satu buah hati.

Kasus lain terkait hari pertama masuk sekolah, juga terjadi pada Budi, 38 tahun, tentu bukan nama sebenarnya. Pria yang sudah bekerja di sebuah perusahaan swasta ini mengalami gagap saat berbicara di depan umum. Dia lebih memilih menghindar ketika diminta rapat atau menghadiri event yang dihadiri banyak orang.

Merasa karirnya terhambat akibat hal itu, Budi pun meminta sesi terapi untuk mengetahui penyebabnya. Ternyata, dari proses pencarian di pikiran bawah sadar diketahui, klien pernah pindah sekolah mengikuti ayahnya bertugas. Maklum, ayahnya seorang aparat yang sering dipindahtugaskan. Ketika itu, Budi naik ke kelas 3 sekolah dasar (SD). Di sekolah baru ini, Budi sempat meminta diantar ayahnya. Namun sang ayah tidak bisa. Sementara ibunya juga sedang sakit, sehingga tidak bisa mendampingi.

Akibatnya, si Budi diantar sama bawahan ayahnya. Tentu Budi hanya diantar sampai pagar depan sekolah, langsung pergi. Jadilah Budi merasa cemas dan ketakutan. Rasa takutnya semakin memuncak ketika dia diminta melakukan perkenalan sebagai anak baru di depan teman-temannya. Baginya, perkenalan di depan kelas itu sangat menyeramkan, bahkan lebih seram dari film horor manapun.

Budi diam, tak berkata apa-apa. Bahkan, sempat terkencing di celana. Akibatnya, Budi semakin takut, hingga akhirnya dibimbing gurunya ke toilet. Budi pun meminta pulang, merasa belum siap sekolah. Keesokan harinya, barulah Budi diantar ibunya dan bisa sekolah. Perkenalan tak lagi dilakukan, melainkan hanya diwakili penjelasan guru kepada murid lain di kelas.

Restrukturisasi pun dilakukan di pikiran bawah sadar Budi, sehingga trauma akan kejadian itu dinetralisasi. Setelah proses tuntas, pria ini mengaku lega dan nyaman. Seminggu setelah proses terapi, Budi juga mengaku sudah terbiasa berada di depan orang banyak, bahkan saat menghadiri rapat.

Sebenarnya masih ada beberapa kasus lain yang terkait hari pertama masuk sekolah. Namun, poin yang ingin saya sampaikan adalah, sangat tepat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencanangkan Gerakan Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah. Sebab, gerakan ini akan berdampak besar pada kesuksesan anak di masa mendatang.

Jangan sampai ada lagi Ani atau Budi lain, yang mengalami trauma berkepanjangan hanya karena peristiwa tidak nyaman di hari pertama sekolah. Mari dukung buah hati melalui proses transisi ini dengan mudah dan menyenangkan.

Bagaimana menurut Anda?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun