Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kenapa Maksiat Lebih Mudah? Ternyata Ini Jawabannya

18 Maret 2016   08:14 Diperbarui: 18 Maret 2016   08:14 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kenapa  berbuat maksiat itu mudah, sebaliknya beribadah sangat sulit? Semenjak belajar teknologi pikiran, perlahan-lahan jawaban atas hal ini bisa saya temukan. Mohon maaf jika saya tidak menjelaskan dari sisi agama. Sebab, saya memang bukan pemuka agama. Lagi pula, saya yakin jutaan persen, tak akan ada agama yang menganjurkan umatnya melakukan perbuatan tidak benar. 

Bicara soal agama dan keyakinan, akan sangat bersinggungan dengan pikiran bawah sadar. Kenapa? Karena di sinilah letak keyakinan itu. Nilai-nilai agama, akan sangat melekat kuat di pikiran bawah sadar. Itu lah yang menyebabkan, tidak mudah bagi seseorang, memaksakan keyakinannya kepada orang lain. Sebab, pikiran bawah sadar memiliki benteng yang kuat, bahkan sangat kuat. Sehingga perlu strategi dan waktu yang tepat, untuk bisa menembus benteng tersebut. Namun demikian, sekuat-kuatnya benteng tetap akan bisa dijebol, bahkan bisa hancur. Inilah yang menyebabkan kenapa ada orang yang bisa berubah keyakinan dari satu agama ke agama lain.

Cognitive Neuroscientist menemukan bahwa pikiran bawah sadar bertanggung jawab, memengaruhi, dan menentukan proses dan hasil dari 95 persen hingga 99 persen aktivitas berpikir. Dengan demikian pikiran bawah sadar menentukan hampir semua keputusan, tindakan, emosi, dan perilaku kita. Itulah mengapa, nilai-nilai agama dan keyakinan harus berada di pikiran bawah sadar ini. Jika tidak, maka manusia yang beragama dan menjalankan nilai agama dengan baik, tak akan pernah ada.

Agar agama bisa diterima dan dimengerti kemudian dijalankan oleh umatnya, maka harus tahu bagaimana caranya menanamkan nilai-nilai keyakinan ini ke pikiran bawah sadar.

Pertama adalah, oleh figur yang dipandang sebagai figur otoritas. Jika pemuka agama memiliki figur otoritas yang tinggi, di antaranya memiliki integritas dan memang terbukti sangat memegang teguh nilai-nilai agama, maka apa pun yang disampaikan akan mudah masuk ke pikiran bawah sadar. Yang menjadi persoalan, saat ini ada saja pemuka agama yang justru melakukan hal-hal yang kurang tepat. Termasuk gaya hidup yang bermewah-mewahan, bahkan cenderung berlaku seperti artis. Hal ini tentu akan melunturkan figur otoritas dari pemuka agama itu sendiri. Akibatnya, semua perkataan dan perbuatannya pun tidak serta merta diterima bahkan terkesan diabaikan. Secara otomatis, ini juga akan mampu melunturkan nilai-nilai keyakinan umat dari agama itu sendiri.

Cara kedua untuk memasukkan nilai-nilai agama dengan tepat adalah, ide dengan muatan emosi yang tinggi. Ketika umat dalam keadaan sedih, gundah dan galau, maka ini adalah saat yang tepat memberikan sentuhan nilai-nilai agama. Saat umat dalam kondisi galau seperti ini, benteng pertahanan pikiran bawah sadar sedang terbuka lebar. Dengan demikian, informasi akan mudah masuk. Ini pula yang menjadi jawaban, kenapa seseorang mudah terseret bergabung dengan aliran tertentu yang dianggap sesat. Sebab, ketika hati sedang kosong atau gundah, tiba-tiba datang seseorang yang dianggap peduli dan mengerti akan keadaan orang tersebut. Karena pikiran bawah sadar sedang terbuka, maka ide atau gagasan apa pun yang disampaikan seseorang yang dianggap peduli itu, dengan mudah akan tertanam di pikiran bawah sadar. Belakangan sangat banyak kisah-kisah tertentu berkaitan dengan agama, yang terkadang sengaja didramatisir. Ini dilakukan untuk menaikkan emosi seseorang. Jika emosi sudah terpengaruh, maka nilai-nilai agama pun bisa diserap dengan cepat.

Cara berikutnya menanamkan nilai-nilai keyakinan adalah dengan repetisi ide, atau pengulangan. Jika ide yang baik terus-menerus diulang dan disampaikan, tentu lama kelamaan akan menembus pintu gerbang pikiran bawah sadar dengan tepat. Karena itu, mengajak orang berbuat baik bahkan beribadah, tidak bisa dilakukan sambil lalu. Harus dilakukan terus menerus hingga kemudian bisa menembus pikiran bawah sadar.

Terakhir, cara yang mudah adalah dengan identifikasi kelompok. Maksudnya apa? Ketika seseorang sudah merasa diterima di sebuah kelompok tertentu, maka apa pun yang menjadi aturan dalam kelompok itu, akan diterima pikiran bawah sadar. Itulah mengapa, membuat kelompok-kelompok pengajian, majelis-majelis ilmu, sangatlah penting agar nilai-nilai keyakinan semakin melekat. Namun, cara ini pula yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu yang menyebarkan aliran sesat atau paham tertentu. Mereka pasti akan terus berkelompok, agar apa yang sudah diyakini, tidak terkontaminasi lagi oleh keyakinan lainnya.

Pikiran manusia, sejatinya terbagi dalam pikiran bawah sadar dan pikiran sadar. Namun, pikiran bawah sadar pun terbagi dalam dua bagian, yakni area primitif dan area memori modern.

Saat baru lahir, pikiran bawah sadar pada bagian area primitif, sudah tersimpan beberapa memori bawaan dari Tuhan yang Maha Kuasa. Memori itu adalah fungsi tubuh otomatis, sistem kekebalan tubuh, perasaan umum, dan program dasar otak. Itu sebabnya, bayi yang baru lahir langsung tahu bahwa begitu keluar dari rahim ibunya, langsung menangis. Termasuk, bayi pun sudah tahu rasanya lapar, sehingga menangis saat ingin meminum air susu. Ketika masih berusia kurang dari tiga tahun, pikiran bawah sadar pada bagian area memori modern, umumnya masih kosong. Isi memori ini bergantung pada program yang ditanamkan. Ibarat komputer, belum ada program sama sekali. Tentu ini bergantung pada orang tuanya, mau diisi dengan apa?

Di area memori modern inilah, nilai-nilai agama dan keyakinan harus ditanamkan dengan tepat. Agar kelak, ketika sudah dewasa, akan terus melekat kuat dan tidak mudah ditembus oleh keyakinan lain yang menyimpang.

Selanjutnya pada pikiran sadar manusia, di sinilah yang berfungsi menjalankan analisa, rasio, serta memori jangka pendek. Tentu, nilai agama dan keyakinan tidak berada di posisi ini.

Lantas, kembali ke pertanyaan awal. Kenapa maksiat lebih mudah dilakukan? Ternyata ini berhubungan dengan sifat pikiran manusia. Apa itu? Pikiran ternyata hanya mengenal satu waktu, yaitu ‘sekarang’. Itu sebabnya, para pelaku kejahatan atau pelaku maksiat, tidak pernah memikirkan waktu yang akan datang. Yang dipikirkan adalah sekarang alias kejadian saat ini. Bicara agama, umumnya yang muncul adalah surga dan neraka. Sementara surga dan neraka waktunya masih belum diketahui kapan tiba masanya. Tak heran jika pikiran bawah sadar lebih cenderung memikirkan yang sekarang.

Berikutnya, kekuatan program pikiran ditentukan oleh intensitas emosi.Maksudnya apa? Emosi pada kejadian yang sekarang, tentu bisa langsung dirasakan, ketimbang sesuatu yang belum jelas di masa depan. Meski begitu banyak kisah yang menarik bahkan indah tentang surga, namun itu tidak serta merta bisa langsung dirasakan. Tak heran jika banyak orang tetap lebih senang melakukan perbuatan yang salah, karena hasilnya bisa dirasakan sekarang juga.

Pendek kata, sifat pikiran hampir sama dengan anak-anak. Coba saja anak-anak usia 7 tahun ditawari dibelikan motor, tapi nanti ketika berusia 40 tahun. Kemudian diberikan pilihan mainan mobil-mobilan remote kontrol yang bagus, sekarang. Tentu sebagian besar akan memilih mobil-mobilan, karena sekarang juga bisa dirasakan. Inilah sifat pikiran, yang cenderung lebih suka apa yang instan dan bisa dinikmati sekarang juga.

Setelah tahu bahwa sifat pikiran seperti ini, tentu perlu strategi jitu untuk terus menanamkan nilai-nilai agama dan keyakinan dengan tepat. Strateginya adalah kembali pada cara menanamkan ide atau gagasan pada pikiran bawah sadar. Pemuka agama harus benar-benar menjadi figur otoritas yang mumpuni dan disegani, bahkan nyaris tanpa cela. Sehingga umat bisa mengikuti semua perkataan dan perbuatan dari pemuka agama tersebut.

Berikutnya, pastikan umat selalu merasa didampingi. Terutama ketika sedang sedih dan galau bahkan putus asa, nilai agama dan keyakinan harus selalu hadir memberikan solusi yang pas. Selanjutnya adalah repetisi ide, alias diulang-ulang. Ada baiknya, ide yang disampaikan berulang bukan sekadar surga dan neraka, yang entah kapan datangnya, tapi lebih kepada manfaat apa saja yang bisa langsung dirasakan ketika berbuat baik. Dengan cara ini, maka pikiran bawah sadar akan langsung menjalankan program tersebut.

Terakhir adalah identifikasi kelompok. Adanya kelompok-kelompok diskusi, bahkan klub-klub tertentu, ada baiknya diarahkan pada manfaat yang dipetik hasilnya saat ini. Misalnya memberikan sumbangan kepada korban kebakaran, ini adalah perbuatan baik yang kelak pasti ada balasannya. Namun, yang diutamakan adalah hasil yang langsung dirasakan pada orang yang ditolong. Selain itu, yang memberikan juga akan merasakan hal yang sama.

Jika hal ini dilakukan, tentu berbuat baik tidak lagi mengharapkan surga yang entah kapan datangnya. Namun, berbuat baik pun hasilnya bisa langsung dirasakan, sekarang juga.

Bagaimana menurut Anda?  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun