Selanjutnya pada pikiran sadar manusia, di sinilah yang berfungsi menjalankan analisa, rasio, serta memori jangka pendek. Tentu, nilai agama dan keyakinan tidak berada di posisi ini.
Lantas, kembali ke pertanyaan awal. Kenapa maksiat lebih mudah dilakukan? Ternyata ini berhubungan dengan sifat pikiran manusia. Apa itu? Pikiran ternyata hanya mengenal satu waktu, yaitu ‘sekarang’. Itu sebabnya, para pelaku kejahatan atau pelaku maksiat, tidak pernah memikirkan waktu yang akan datang. Yang dipikirkan adalah sekarang alias kejadian saat ini. Bicara agama, umumnya yang muncul adalah surga dan neraka. Sementara surga dan neraka waktunya masih belum diketahui kapan tiba masanya. Tak heran jika pikiran bawah sadar lebih cenderung memikirkan yang sekarang.
Berikutnya, kekuatan program pikiran ditentukan oleh intensitas emosi.Maksudnya apa? Emosi pada kejadian yang sekarang, tentu bisa langsung dirasakan, ketimbang sesuatu yang belum jelas di masa depan. Meski begitu banyak kisah yang menarik bahkan indah tentang surga, namun itu tidak serta merta bisa langsung dirasakan. Tak heran jika banyak orang tetap lebih senang melakukan perbuatan yang salah, karena hasilnya bisa dirasakan sekarang juga.
Pendek kata, sifat pikiran hampir sama dengan anak-anak. Coba saja anak-anak usia 7 tahun ditawari dibelikan motor, tapi nanti ketika berusia 40 tahun. Kemudian diberikan pilihan mainan mobil-mobilan remote kontrol yang bagus, sekarang. Tentu sebagian besar akan memilih mobil-mobilan, karena sekarang juga bisa dirasakan. Inilah sifat pikiran, yang cenderung lebih suka apa yang instan dan bisa dinikmati sekarang juga.
Setelah tahu bahwa sifat pikiran seperti ini, tentu perlu strategi jitu untuk terus menanamkan nilai-nilai agama dan keyakinan dengan tepat. Strateginya adalah kembali pada cara menanamkan ide atau gagasan pada pikiran bawah sadar. Pemuka agama harus benar-benar menjadi figur otoritas yang mumpuni dan disegani, bahkan nyaris tanpa cela. Sehingga umat bisa mengikuti semua perkataan dan perbuatan dari pemuka agama tersebut.
Berikutnya, pastikan umat selalu merasa didampingi. Terutama ketika sedang sedih dan galau bahkan putus asa, nilai agama dan keyakinan harus selalu hadir memberikan solusi yang pas. Selanjutnya adalah repetisi ide, alias diulang-ulang. Ada baiknya, ide yang disampaikan berulang bukan sekadar surga dan neraka, yang entah kapan datangnya, tapi lebih kepada manfaat apa saja yang bisa langsung dirasakan ketika berbuat baik. Dengan cara ini, maka pikiran bawah sadar akan langsung menjalankan program tersebut.
Terakhir adalah identifikasi kelompok. Adanya kelompok-kelompok diskusi, bahkan klub-klub tertentu, ada baiknya diarahkan pada manfaat yang dipetik hasilnya saat ini. Misalnya memberikan sumbangan kepada korban kebakaran, ini adalah perbuatan baik yang kelak pasti ada balasannya. Namun, yang diutamakan adalah hasil yang langsung dirasakan pada orang yang ditolong. Selain itu, yang memberikan juga akan merasakan hal yang sama.
Jika hal ini dilakukan, tentu berbuat baik tidak lagi mengharapkan surga yang entah kapan datangnya. Namun, berbuat baik pun hasilnya bisa langsung dirasakan, sekarang juga.
Bagaimana menurut Anda? Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI