Jelang pergantian tahun 2015 ke 2016, tepatnya 27 Desember 2015 silam, seorang sahabat berdiskusi dengan saya. Salah satu yang didiskusikan adalah soal riba. Ya, sahabat saya ini mengaku stres. Usaha percetakannya terpaksa tutup. Semua alat yang dimiliki sudah dijual, namun belum mampu menutupi semua utang yang ada di bank.
Dia kemudian menyebutkan nominal utangnya yang terus bertambah, melebihi jumlah utang pokok yang sebelumnya. Ia mengakui, awalnya berani utang karena pernah mengikuti seminar ‘Cara Gila Jadi Pengusaha’ dari Purdi Chandra yang di dalamnya juga ada anjuran ‘Utang itu Mulia”.
Sejak itu, dia pun semakin berani menerima tawaran modal dari bank. Baginya, setiap tambahan modal dianggap sebagai pertumbuhan bisnis yang semakin baik. Namun ternyata, hasilnya sebaliknya. Seiring waktu, utang terus bertambah, bisnisnya pun gagal total. Walhasil, sedikit demi sedikit semua asetnya dijual, hingga kemudian terpaksa menutup usahanya.
Izinkan saya sedikit mengulas soal ‘Cara Gila Jadi Pengusaha’ yang dulu sempat booming di mana-mana. Seminar bisnis ini selalu dibanjiri peminat. Meski di dalam kitab suci Alquran sudah jelas bahwa riba adalah haram, namun hal ini seolah lenyap ditelan besarnya impian setiap insan. Dalam teknologi pikiran, repetisi ide adalah salah satu cara yang efektif dalam memasukkan informasi ke alam bawah sadar. Karena begitu seringnya kalimat ‘utang itu mulia’ atau ‘bisnis modal dengkul’ diulang-ulang, akhirnya sistem bisnis inilah yang diyakini bisa membawa kesuksesan.
Cara lain untuk memasukkan informasi ke pikiran bawah sadar adalah ide yang disampaikan oleh figur otoritas yang tinggi. Bukankah Purdi Chandra ketika itu dianggap sukses membangun kerajaan bisnis Primagama-nya. Otomatis semakin membawa Purdi sebagai seseorang dengan figur otoritas tinggi. Maka praktis, apa pun yang disampaikan Purdi Chandra, langsung masuk ke pikiran bawah sadar para peserta seminarnya dengan mudah. Tak peduli melanggar aturan agama alias haram, ide agar bisa mendapat utang itu pun langsung diterima dan sistemnya dijalankan otomatis oleh pikiran bawah sadar.
Apalagi, ide ini kemudian diperkuat oleh murid-muridnya yang saat itu dianggap sukses dan memberikan testimoni secara terbuka. Jadilah ide ini semakin melekat ke pikiran bawah sadar. Ingat, pikiran bawah sadar itu lugu. Dia tidak mengenal baik atau buruk, halal atau haram. Apa pun informasi yang masuk pikiran bawah sadar dan dianggap sebagai program baru, otomatis akan dijalankan.
Hal lain yang membuat ide Purdi bisa diterima dengan mudah adalah, para peserta seminar umumnya sudah dalam keadaan sulit atau putus asa atas usaha yang dijalankan. Dalam kondisi seperti ini, yakni dalam kondisi sedih atau galau, maka pikiran bawah sadar akan terbuka lebar, tanpa pagar pengaman. Inilah yang menyebabkan ide utang ini pun dengan mudah masuk ke alam bawah sadar tanpa penolakan sedikit pun.
Betapa pun hebatnya manusia berteori, nyatanya Allah yang Maha Kuasa menunjukkan kuasanya. Bisnis Purdi hancur, utangnya di bank pun gagal bayar hingga dinyatakan pailit. Secara otomatis, Purdi yang awalnya dianggap sebagai figur otoritas, langsung rontok. Maka, semua program yang tertanam di pikiran bawah sadar pun ikut rontok. Mereka yang awalnya juga mengagung-agungkan bisnis dengan utang, seketika ikut stres. Program di pikiran bawah sadar langsung hang. Maka, tak sedikit pula murid dari sang guru ikut-ikutan hancur bisnisnya. Termasuk sahabat saya tadi.
Trauma, sedih, kecewa, galau, dan semua perasaan campur aduk tentu berkecamuk di kepala sahabat saya ini. Dia pun meminta penjadwalan utang pada pihak bank, dan berniat benar-benar lepas dari riba. Namun, perasaan trauma dan takutnya sangat menghantui. Bahkan rumah milik orang tua yang sebelumnya menjadi agunan untuk utang, juga terancam disita lintah darat dalam bentuk perusahaan perbankan itu. Bagaimana mungkin, bisa lepas dari riba dengan utang yang mencapai ratusan juta itu?
“Usaha tanpa riba? mana mungkin! Yang pakai riba aja susah begini. Apalagi yang tanpa riba, tanpa modal? Mau dapat uang dari mana?” ujarnya mengeluhkan kondisinya.
Dia memang sangat yakin bahwa Yang Maha Kuasa pasti akan membantu meringankan beban. Namun sebagai manusia biasa, perasaan takut dan trauma jelas tak mudah dilepaskan. Begitu pula dengan ikhlas, yang nyatanya mudah diucapkan namun tak mudah dilaksanakan. Alih-alih lebih semangat mencari kerja untuk membayar utang, yang terjadi kondisinya semakin drop dan sangat malas. Masa depan terasa suram dan cenderung putus asa. Terkadang, ada juga terlintas untuk mengakhiri hidup dengan cara paksa, namun beruntung hati kecilnya selalu mengingatkannya.