Saat ini kampanye agar kaum LGBT bisa diterima oleh masyarakat luas, semakin gencar dilakukan. Ini setelah di Amerika Serikat, kaum Lesbian, Gay, Biseks, dan Transgender (LGBT), keberadaannya diakui dan diterima oleh Presiden AS Barrack Obama.
Namun kali ini, izinkan saya membahas persoalan LGBT ini dari sudut pandang saya, sebagai hipnoterapis. Tentu, saya tidak dalam kapasitas menilai, benar atau salah keberadaan LGBT ini. Lagi-lagi saya tekankan, saya hanya akan membahas dari sudut pandang sebagai hipnoterapis, yang terkadang bersinggungan dengan masalah ini.
Kisah ini terjadi pada Januari 2016 tadi. Sahabat saya ini, seorang perempuan, mengeluhkan tentang keberadaan adik iparnya yang ternyata diam-diam memiliki perasaan suka terhadap sesama jenis. Adik iparnya ini laki-laki, masih tercatat sebagai mahasiswa semester 4 di salah satu perguruan tinggi di Kaltim.
Karena sering curhat dan merasa nyaman, sang adik ipar pun akhirnya mengungkapkan sesuatu yang janggal dalam hatinya itu.
“Ngga tahu kak, kalau lihat foto cowok yang ganteng, rasanya langsung deg-degan,” begitu kata sahabat saya ini, menirukan kalimat adik iparnya.
Singkat cerita, adik iparnya ini dibawa konsultasi ke salah satu psikolog yang ada di kota ini. Ternyata, oleh sang psikolog, hal ini dianggap sebagai sesuatu yang lumrah, bukan dianggap sebagai sebuah penyimpangan.
Inilah yang kemudian membuat sahabat saya ini merasa tidak nyaman. “Saya rasanya kurang sependapat dengan apa yang disampaikan psikolog itu. Masa yang begini dianggap lumrah,” ujarnya dengan mimik serius.
Sebagai kakak ipar, dia merasa khawatir jika adik iparnya ini akhirnya keterusan dan benar-benar menjalani kehidupan sebagai gay.
Tiga pekan lalu, sahabat saya ini akhirnya berhasil membujuk adik iparnya untuk menjalani sesi hipnoterapi. Namun, di sesi perjumpaan pertama, saya tidak langsung melakukan hipnoterapi, melainkan hanya berdiskusi dan memberikan penjelasan lengkap soal hipnoterapi.
Kenapa? Karena dia datang karena permintaan kakak iparnya. Sehingga perlu edukasi yang detail hingga akhirnya keputusan menjalani hipnoterapi itu datang dari dirinya sendiri.
Penjelasan yang saya berikan, akhirnya dapat diterima dengan baik. Sepekan kemudian, klien ini akhirnya bersedia menjalani sesi hipnoterapi, tanpa kakak iparnya, bahkan tidak diketahui kakak iparnya. Ia ingin, kakak iparnya tidak mengetahui proses hipnoterapi itu.