Begitu duduk di kursi terapi, ternyata klien langsung abreaksi. Pertahanannya bobol, diiringi rembesan air mata yang meleleh dari kedua pelupuk matanya.
“Perempuan itu tidak ada gunanya… bisanya hanya merusak perasaan, bikin sakit hati,” ujarnya. Melihat kondisi klien yang sudah hipnosis seperti ini, saya pun tinggal membimbing klien untuk masuk semakin dalam ke pikiran bawah sadar yang efektif untuk melakukan terapi. Uji kedalaman berhasil, proses hipnoanalisis pun berlanjut.
Klien langsung terlempar pada kejadian selepas lulus dari salah satu SMA favorit di Samarinda. Klien mengalami kembali kejadian itu. Ketika itu, klien dan pacarnya, seorang perempuan, sudah berjanji akan melanjutkan kuliah terlebih dahulu, baru kemudian menikah. Namun ternyata, satu bulan kemudian, sang pacar menikah dengan pria lain karena dijodohkan orang tuanya. Sang pacar hijrah ke Balikpapan, menikah dengan salah satu aparat yang berdinas di Balikpapan.
Kejadian inilah yang membuat klien sangat sedih, sehingga menganggap perempuan sama saja. Lantas, apakah ini menjadi akar masalah sehingga dia mengalami gay? Ternyata ada akar masalah lain. Kesedihan pertama kali justru muncul ketika usia 5 tahun, ketika ibunya pergi meninggalkan ayahnya. Ketika itu, ayahnya baru saja di-PHK dari sebuah perusahaan swasta. Ibunya ternyata justru kepincut dengan pria lain, sehingga pergi begitu saja. Itulah pemicu awal timbulnya rasa benci klien terhadap sosok perempuan.
Sejak itu, dia hanya hidup dengan ayahnya. Beberapa kali ada perempuan yang mencoba mendekati ayahnya, namun ternyata juga tidak ada yang tulus, melainkan hanya melirik hartanya saja.
Pikiran bawah sadar klien akhirnya mendapat informasi yang tegas dan jelas, bahwa perempuan itu sumber masalah. Inilah yang memunculkan perasaan berbeda terhadap laki-laki. Dia menjadi antipati terhadap perempuan, sebaliknya, menjadi semakin nyaman dengan laki-laki.
“Laki-laki ngga ribet. Ngga pernah minta ini dan itu,” ujarnya ketika dikonfirmasi pikiran bawah sadarnya.
Dengan teknik khusus, saya akhirnya melakukan rekonstruksi terhadap pikiran bawah sadar. Klien akhirnya bersedia kembali menjalani hidup dengan normal. Beberapa akar masalah yang menjadi penyebab, dicabut dan dimusnahkan secara permanen.
Hasilnya, sepekan lalu ketika saya sedang berada di Jakarta, klien mengirimkan pesan pendek, bahwa kini sudah memiliki pacar seorang perempuan.
“Anaknya baik om, pengertian. Malah saya sering diajarin ngaji sama dia. Jadi malu,” begitu bunyi pesan pendeknya.
Tak hanya saya, rekan sesama hipnoterapis lulusan Adi W. Gunawan Institute (AWGI) lainnya juga tak sedikit yang pernah menangani klien LGBT ini. Hasilnya, semua berhasil dikembalikan secara normal. Bahkan, klien yang sebelumnya akan memutuskan untuk operasi kelamin, akhirnya benar-benar batal dan kembali menjalani hidupnya seperti sedia kala.