Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antara Mirna, Jessica dan Hipnoterapi

3 Februari 2016   10:19 Diperbarui: 3 Februari 2016   10:32 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awalnya, saya tidak banyak mengikuti berita yang berseliweran di belantara maya terkait pembunuhan Wayan Mirna Salihin yang akrab dipanggil Mirna. Dari hasil penelusuran mbah Google, Mirna tewas setelah meminum Es Kopi Vietnam di Olivier Cafe, Grand Indonesia, Jakarta Pusat, Rabu 6 Januari 2016. Dari hasil autopsi serta uji laboratorium kopi yang diminum Mirna ternyata mengandung sianida yang mematikan.

Mirna minum kopi ke kafe tersebut atas ajakan teman semasa kuliahnya di Billyblues College, Sydney, Australia, Jessica Kumala Wongso. Jessica pula yang memesankan kopi dan membayar tagihan kopi Mirna dan  teman Mirna, Hanny.

Sekali lagi, awalnya saya tidak terlalu tertarik dengan kasus ini. Namun, salah satu bagian diri saya langsung terseret untuk membacanya, setelah kata-kata hipnotis tiba-tiba muncul di antara pemberitaan itu.

Ya, perhatian saya tersedot saat Jessica Kumala Wongso, saksi kunci tewasnya Mirna, mengaku dihipnotis penyidik kepolisian Polda Metro Jaya. Di sini, sebagai hipnoterapis, tentu merasa aneh mendengar penjelasan Jessica yang mengaku dihipnotis. Sebab, dari protokol hipnosis yang saya pelajari melalui Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy (SECH) di Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology, hipnosis (umumnya orang menulis hipnotis), hanya bisa dilakukan dengan seizin klien. Itulah yang saya sebut janggal, karena rasanya tidak mungkin hipnosis dilakukan tanpa sepengetahuan klien.

Dugaan saya, Jessica bukan dihipnosis, namun dia mengalami kondisi hipnosis dengan sendirinya, sehingga kedalaman pikiran bawah sadarnya sempat aktif sesaat, tanpa bimbingan hipnoterapis yang melakukan induksi.

Beberapa kondisi hipnosis yang tidak disadari oleh seseorang misalnya ketika mengalami emosi yang sangat intens, baik sangat senang maupun sangat sedih. Begitu juga ketika seseorang mengalami tekanan secara mental dan emosi. Kondisi lain adalah ketika seseorang bertemu dengan figur otoritas yang tinggi. Bisa juga terlalu lelah, atau berada pada kondisi yang sangat rumit.

Dari sini, sangat memungkinkan jika Jessica merasa dihipnosis. Yang terjadi sebenarnya, Jessica tidak sadar berada pada kondisi hipnosis. Bisa jadi karena merasa sangat tertekan, serta harus berhadapan dengan seseorang yang memiliki figur otoritas tinggi, dalam hal ini penyidik polisi.

Para hipnoterapis lulusan Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology, sama sekali tidak menggunakan fisik sebagai parameter mengetahui seseorang sudah pada kedalaman pikiran bawah sadar atau bukan. Yang jadi rujukan utama adalah kondisi mental seseorang. Boleh jadi orang lain menganggap dirinya masih sadar, namun pikiran bawah sadarnya aktif dan cukup dominan. Inilah yang tidak banyak diketahui masyarakat awam, bahkan tidak diketahui hipnoterapis yang hanya berbasis sugesti.   

Lantas, untuk mengetahui apakah Jessica bohong atau tidak, bisakah dilakukan melalui hipnosis? Sangat bisa. Meski tidak bisa dijadikan alat bukti di pengadilan, namun sebagai salah satu tambahan informasi, bisa dilakukan hipnosis forensik terhadap Jessica. Fungsinya adalah untuk menggali data yang benar dan asli.

Namun ini juga harus dilakukan oleh hipnoterapis yang benar-benar memiliki kecakapan khusus, bukan hipnoterapis yang hanya berbasis sugesti. Hipnosis yang dilakukan juga hanya benar-benar menggali informasi atas persetujuan Jessica. Jika Jessica tidak setuju atau tidak berkenan, maka akan ada hambatan dalam proses penggalian data ini. Selain itu, proses hipnosis bukan untuk memaksa seseorang mengakui sebagai pelaku tindak pidana.

Harapannya dengan metode ini, Jessica bisa memberikan penjelasan naratif dan deskriptif mengenai kejadian yang berhubungan dengan tewasnya Mirna. Jessica akan dibawa untuk mengalami kembali semua kejadian yang ada, bukan sekadar mengingatnya.

Kenapa harus hipnoterapis yang benar-benar ahli untuk melakukan ini? Diperlukan kemampuan dalam menggali agar data yang keluar benar-benar data asli, akurat dan benar. Sebab bisa saja ada memori yang tidak akurat, atau ada memori palsu yang ternyata dianggap sebagai sebuah kebenaran karena sudah menancap kuat di pikiran bawah sadar.

Menurut pakar teknologi pikiran Adi W. Gunawan, hipnoterapis yang melakukan hipnosis harus seorang praktisi yang benar-benar diakui kepakarannya, status yang jelas, mempunyai reputasi yang sangat baik dengan kredibilitas dan integritas yang tinggi, independen, dan sama sekali tidak ada hubungan baik personal maupun profesional dengan penyidik, penuntut, korban, atau pelaku kejahatan.

Untuk memastikan kualifikasi dan kecakapan hipnoterapis maka perlu diselidiki dari mana ia mendapatkan sertifikasi sebagai hipnoterapis, apa nama lembaga tempat ia belajar, sudah berapa lama ia praktik sebagai hipnoterapis, apakah ia hipnoterapis aktif, kasus apa saja yang telah ia tangani, teknik terapi apa yang biasa ia gunakan, dan apakah ia memiliki sertifikasi untuk melakukan hipnosis forensik?

Karena itu, saya juga merasa aneh dan hanya bisa tepok jidat ketika tiba-tiba ada orang yang mengaku dirinya sebagai pakar hipnoterapi, namun bisa memberikan kesimpulan terhadap keberadaan Jessica hanya melalui tanda-tanda fisik. Hipnoterapis tentu berbeda dengan psikolog atau psikiater yang memang belajar hal tersebut. Karena itu, aneh jika tanpa induksi atau membawa seseorang ke kedalaman pikiran bawah sadar, kemudian bisa menyimpulkan sesuatu dengan mudah.

Boleh saja hipnoterapis menyampaikan kesimpulan itu, asalkan dia juga memiliki latar belakang pendidikan sebagai psikolog atau psikiater. Sebab, tidak sedikit pula psikolog atau psikiater yang juga mendalami hipnoterapi.

Adi W. Gunawan yang juga memiliki sertifikat keahlian hipnosis forensik menyampaikan, untuk bisa menggali informasi yang detail harus dilakukan hipnoterapis yang ahli regresi dan terutama ahli dalam melakukan eksplorasi pikiran bawah sadar dengan pertanyaan yang netral. 
Bila hipnoterapis selama ini hanya bermain dengan teknik sugesti, apalagi tidak tahu kedalaman trance, maka ia sama sekali tidak qualified untuk melakukan hipnosis forensik. 

Itu sebabnya, jika seseorang ada yang mengaku sebagai hipnoterapis forensik, perlu diselidiki dulu, metode apa yang digunakan. Kalau perlu dilakukan audit atas metode yang digunakan. (*)

Simak artikel menarik lainnya di www.endrosefendi.com 

#HipnoterapiKlinis #Hipnoterapis #Hipnoterapi #Transformasi #LetsLearn #AWGI #AHKI #SeriSuksesTerapi #SayaAWGI #MindTechnology #TeknologiPikiran #HidupYangLebihBaik #Sehat #Bahagia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun