Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Revolusi Mental, Bagaimana Caranya?

23 Januari 2016   19:23 Diperbarui: 23 Januari 2016   19:23 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Padi tadi, sebuah pesan pendek masuk ke telepon seluler saya. “Mas, kok ngga pernah lagi menulis soal politik? Ini kan musim Pilkada, perlu lah ada tulisan pencerahan.” Begitu bunyi pesan pendek ini.

Ya, sejak memutuskan untuk mendalami teknologi pikiran, saya memang ‘jaga jarak’ dengan urusan politik. Kenapa? Energi mudah terkuras dan pikiran jadi lebih mudah lelah. Hal ini juga akan berpengaruh pada kemampuan saya dalam melakukan terapi klien. Kalau pun ada postingan soal politik di dinding facebook, saya hanya membacanya sambil lalu. Saling kritik dan saling hujat, ya begitulah isinya. Saya sadar sepenuhnya, jika ikut larut dalam postingan tersebut, energi saya akan cepat terkuras.

Akhir 2015 lalu, salah satu teman menghubungi saya. Dia mengeluhkan soal pikirannya yang selalu cemas dan mudah emosi. Ketika itu dia memang aktif terlibat dalam kampanye salah satu pasangan calon bertarung dalam pilkada serentak 9 Desember.

“Tolong jawab dengan jujur. Calon yang didukung ini memang sesuai pilihan dari hati nurani, atau tuntutan dari partai?” tanya saya. Teman ini pun mengakui, apa yang dilakukan memang semata-mata mengikuti aturan partai. Jika tidak, jelas sanksi sudah menanti.

Dari kisah yang disampaikan, mudah ditebak. Apa yang dilakukannya selama ini sudah begitu banyak menguras energi. Vibrasi energi yang tidak nyaman, semakin lama semakin menguat, sehingga rasa cemas dan emosi pun mudah mencuat.

Saya kemudian menyarankan untuk mencoba ‘cuti’ sejenak dari hiruk pikuk politik. Saya beri waktu satu minggu untuk merasakannya. Hasilnya, dia pun mengakui perasaannya jauh lebih tenang, dan bisa lebih fokus menjalankan usahanya. Maklum, usaha yang dijalankan sempat sedikit kacau sebelumnya.

Saat membuat tulisan ini pun, energi yang saya gunakan jauh lebih besar, ketimbang menulis soal lainnya yang lebih nyaman karena mengalir begitu mudahnya.

Anda yang membaca tulisan ini pun akan lebih lelah ketimbang membaca tulisan lain yang lebih santai. Kenapa? Karena sembari membaca tulisan ini, sebagian pikiran Anda mulai sibuk mencari dan menduga-duga, siapa saja ‘oknum’ yang saya gunakan sebagai aktor dalam kisah ini. Termasuk mulai sibuk memastikan, siapa calon yang dipilih si aktor ini, dan dari partai politik mana.

Sudah, stop. Hentikan pikiran itu. Semakin Anda mencoba mencari tahu, maka energi Anda akan semakin terkuras dan ujung-ujungnya nanti akan penasaran sendiri, he he he.

Pilkada serentak 9 Desember 2015 sudah berjalan, diikuti 269 daerah dari seluruh Indonesia, baik provinsi maupun kabupaten dan kota. Jadi, kisah yang saya tuliskan di atas bisa terjadi di mana saja.

Terus, bagaimana cara memilih calon pemimpin yang pas? Ya pilihlah yang membuat Anda merasa nyaman. Cek perasaan Anda sebelum melakukan pilihan. Pejamkan mata, letakkan telapak tangan kanan ke dada sebelah kiri. Sensualisasikan masing-masing pasangan calon yang sedang bertarung dalam Pilkada itu. Mana pasangan calon yang membuat Anda terasa nyaman, tidak ada ganjalan dan hambatan, monggo dipilih. Itulah yang dikatakan memilih sesuai hati nurani.

“Lah, terus bagaimana dengan pemilihan presiden kemarin, mas? Saya sudah pilih sesuai nurani, tapi sekarang kayanya kok malah terasa ngga nyaman ya?” 

Gampang, hilangkan saja rasa tidak nyaman itu. Duduk sejenak, tarik nafas yang panjang dan dalam dari hidung, keluarkan lewat mulut. Lakukan beberapa kali. Setiap kali mengembuskan nafas, izinkan dan niatkan perasaan tidak nyaman itu terbuang seketika. Sebaliknya, saat menarik nafas, izinkan dan niatkan perasaan menjadi jauh lebih nyaman dan semakin nyaman.

Ketimbang energi habis untuk menghujat atau mencari kambing hitam atas apa yang sudah terjadi, lebih baik lakukan cara terbaik membenahi negeri ini dimulai dari diri sendiri. Inilah revolusi mental yang sesungguhnya, yakni masing-masing individu menghilangkan emosi negatifnya hingga tuntas. Bagaimana menurut Anda?

(artikel lainnya bisa disimak di www.endrosefendi.com)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun