Padi tadi, sebuah pesan pendek masuk ke telepon seluler saya. “Mas, kok ngga pernah lagi menulis soal politik? Ini kan musim Pilkada, perlu lah ada tulisan pencerahan.” Begitu bunyi pesan pendek ini.
Ya, sejak memutuskan untuk mendalami teknologi pikiran, saya memang ‘jaga jarak’ dengan urusan politik. Kenapa? Energi mudah terkuras dan pikiran jadi lebih mudah lelah. Hal ini juga akan berpengaruh pada kemampuan saya dalam melakukan terapi klien. Kalau pun ada postingan soal politik di dinding facebook, saya hanya membacanya sambil lalu. Saling kritik dan saling hujat, ya begitulah isinya. Saya sadar sepenuhnya, jika ikut larut dalam postingan tersebut, energi saya akan cepat terkuras.
Akhir 2015 lalu, salah satu teman menghubungi saya. Dia mengeluhkan soal pikirannya yang selalu cemas dan mudah emosi. Ketika itu dia memang aktif terlibat dalam kampanye salah satu pasangan calon bertarung dalam pilkada serentak 9 Desember.
“Tolong jawab dengan jujur. Calon yang didukung ini memang sesuai pilihan dari hati nurani, atau tuntutan dari partai?” tanya saya. Teman ini pun mengakui, apa yang dilakukan memang semata-mata mengikuti aturan partai. Jika tidak, jelas sanksi sudah menanti.
Dari kisah yang disampaikan, mudah ditebak. Apa yang dilakukannya selama ini sudah begitu banyak menguras energi. Vibrasi energi yang tidak nyaman, semakin lama semakin menguat, sehingga rasa cemas dan emosi pun mudah mencuat.
Saya kemudian menyarankan untuk mencoba ‘cuti’ sejenak dari hiruk pikuk politik. Saya beri waktu satu minggu untuk merasakannya. Hasilnya, dia pun mengakui perasaannya jauh lebih tenang, dan bisa lebih fokus menjalankan usahanya. Maklum, usaha yang dijalankan sempat sedikit kacau sebelumnya.
Saat membuat tulisan ini pun, energi yang saya gunakan jauh lebih besar, ketimbang menulis soal lainnya yang lebih nyaman karena mengalir begitu mudahnya.
Anda yang membaca tulisan ini pun akan lebih lelah ketimbang membaca tulisan lain yang lebih santai. Kenapa? Karena sembari membaca tulisan ini, sebagian pikiran Anda mulai sibuk mencari dan menduga-duga, siapa saja ‘oknum’ yang saya gunakan sebagai aktor dalam kisah ini. Termasuk mulai sibuk memastikan, siapa calon yang dipilih si aktor ini, dan dari partai politik mana.
Sudah, stop. Hentikan pikiran itu. Semakin Anda mencoba mencari tahu, maka energi Anda akan semakin terkuras dan ujung-ujungnya nanti akan penasaran sendiri, he he he.
Pilkada serentak 9 Desember 2015 sudah berjalan, diikuti 269 daerah dari seluruh Indonesia, baik provinsi maupun kabupaten dan kota. Jadi, kisah yang saya tuliskan di atas bisa terjadi di mana saja.
Terus, bagaimana cara memilih calon pemimpin yang pas? Ya pilihlah yang membuat Anda merasa nyaman. Cek perasaan Anda sebelum melakukan pilihan. Pejamkan mata, letakkan telapak tangan kanan ke dada sebelah kiri. Sensualisasikan masing-masing pasangan calon yang sedang bertarung dalam Pilkada itu. Mana pasangan calon yang membuat Anda terasa nyaman, tidak ada ganjalan dan hambatan, monggo dipilih. Itulah yang dikatakan memilih sesuai hati nurani.