Kemarin, kita telas ulas tentang indahnya dataran tinggi Dieng, salah satu dari destinasi wisata asal Jawa Tengah. Indah, cantik, dan mempesona bisa disematkan kepada wilayah tersebut. Bahkan, masih banyak lagi pujian yang menurut saya, pantas disandang. Pokoknya, rugi deh yang belum pernah ke sana.
Nah, kali ini, kita masih akan mengulas tentang destinasi pegunungan.
Kok gunung lagi sih? Pasti ada berpikiran begitu yah?
Sejujurnya, saya memang senang naik gunung. Eits, hanya senang yah. Bukan hobi. Karena di sana, saya lebih merasa menjadi diri saya pribadi.
Di gunung, mau enggak mau, kita harus saling membantu. Teman kelelahan, kita tunggu. Kita kelelahan, mereka menunggu. Seakan itu seperti magnet yang saling berketaitan.
Bila di gunung saja, kita bisa saling membantu. Mengapa dalam kehidupan sehari-hari, kok jarang banget yah? Tetangga rumah kesulitan, kadang-kadang cuek. Bahkan, sampai nggak tahu. Kalau hidup di kota sih, masih wajar. Karena siklus kehidupannya, berangkat pagi pulang malam. Pas weekend, maunya rebahan. Jadi, kalau nggak ada niat keluar rumah, mana tahu kondisi tetangga. Tapi tetep yah, itu nggak bagus. Sudah semestinya, kita harus tahu kondisi tetangga kita. karena bagaimana pun, mereka adalah saudara tak seibu yang berada paling dekat dengan kita.
Dari situ, saya mulai merasa, kalau ingin melihat teman kita baik sama kita, coba ajakin naik gunung. Kalau egois, nanti ketahuan deh sifatnya. Tapi, kalau dia nggak mau, jangan dipaksa. Nanti kalau dipaksa, jadi malah beban buat kita.
Balik lagi yah, seputar destinasi pegunungan. Kali ini, saya akan mengulas gunung yang tingginya sih, nggak terlalu. Pokonya cocok deh, buat pemula. Selain itu, jalannya pun sudah dirapihin. Karena gunung itu sudah dijadikan kawasan wisata. Jadi akses pendakiannya pun, terbilang cukup terawat.
Kala itu, saya berangkat dari Bekasi bersama lima orang teman. Sebenarnya berenam, yang satu lagi, katanya menyusul. Karena masih ada rapat di kantornya.
Kami pun memutuskan untuk berangkat di Jumat sore dengan bis menuju ke Garut. Sesampainya di Garut, kami istirahat di terminal sambil menunggu waktu fajar datang. bersih-bersih dulu, biar kelihatan agak rapih.
Mentari pun sudah menyapa. Kami pun mulai mencari angkot yang akan membawa kami ke kawasan Gunung Papandayan. Sang kenek pun menawari kami untuk menaiki angkot miliknya. Setelah melakukan negosiasi, kami pun setuju dengan harga yang ditawarkan. Ternyata, kami diantar bukan di titik simaksi.
     "Kalau mau ke simaksi, naik mobil jip itu, Kang," jawab salah satu kenek angkot yang tadi kami menaikinya.
Sebelum beranjak ke mobil jip, kami pun hampir ke warung untuk sarapan. Tak lupa, kami juga membungkus nasi untuk bekal makan malam. Karena kami memang sengaja nggak bawa beras. Kami hanya membawa makanan siap saji yang nantinya hanya tinggal dipanaskan. Jadi gas yang dibutuhkan tidak banyak.
Welcome, papandayan!!
Sebelum kami masuk, kami pun membayar karcis. Saat itu, setiap orang dikenai 65.000. Menurut kalian, mahal nggak? Kalau menurut saya sih wajar. Karena wilayah ini sudah dikelola oleh beberapa pihak. Kalau masih dikelola oleh penduduk sekitar, mungkin nggak sebesar itu.
Oke, lanjut. Kami pun nggak melanjutkan pendakian. Karena salah satu teman kami, katanya mau menyusul. Akhirnya, kami pun menunggunya di pos yang ada di dekat pintu masuk. Menjelang siang, dirinya pun datang. Dan akhirnya, pendakian pun dimulai.
Tak butuh waktu lama. Kurang lebih dua jam kami sudah mencapai area camp, Pondok Saladan. Di sana sudah berdiri beberapa tenda. Ada yang berukuran besar, ada pula yang kecil. Kami pun memilih area yang datar untuk pendirian tenda. Magrib pun telah tiba, tenda pun telah berdiri. Suasana malam menjadi berbeda di malam itu. Yang biasanya, suara knalpot selalu tergiang, saat itu, nampak tenang.
Pagi hari, kami pun mengujungi hutan mati. Ini adalah spot yang banyak dikunjungi oleh para traveller. Kondisinya, benar-benar seperti hutan yang mati. Jadi nggak salah deh, jika dinamai "Hutan Mati". Kami pun berfoto-foto di sini, sebelum nantinya kami akan menuju ke area Bungan edelwies. Iya, di Papandayan juga ada spot yang menarik, yaitu taman ederlwies. Di sana, bunga-bunga indah banget buat dijadikan background poto. Nggak sia-sia deh, jika kalian ke sini.
Menjelang dhuha, kami pun merapikan tenda dan berkemas untuk turun gunung. Estimasi jika kami turun di waktu dhuha, kami akan tiba di terminal, saat sore hari. Lalu naik bis arah Bekasi dan tiba di kota kami pada malam hari.
Sedikit dari pengalaman saya, saat jalan-jalan ke Garut. Nggak salah deh, kalau naik gunung di Garut. Pemadangannya indah banget. Tranportasinya juga mudah. Tapi saran saya, jika kalian ke Garut, naiklah bis primajasa. Karena ketika berangkat, saya pakai bis yang berbeda. Dan itu, nggak nyaman. Ketika pulang naik primajasa, badannya pun bisa tidur terlelap.
Merbabu, Mahameru, Rinjani. Semoga bisa bertamu ke diri kalian!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H