Mohon tunggu...
Endrianto Bayu
Endrianto Bayu Mohon Tunggu... Lainnya - Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Berpikir dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kegentingan yang Memaksa Reformasi Polri

16 November 2022   13:04 Diperbarui: 16 November 2022   13:11 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peristiwa demi peristiwa yang booming terjadi akhir-akhir ini ternyata memiliki titik taut yang hulu hilirnya berasal dari institusi yang sama, yakni Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Mulai dari kasus pembunuhan oleh Ferdy Sambo, Tragedi Kanjuruhan, Kapolda Jatim yang terlibat kasus narkoba, penembakan oleh polisi, polisi yang membanting mahasiswa, extrajudicial killing terhadap Laskar FPI, hingga penggunaan kekuatan bersenjata yang berlebihan--misalnya pada aksi Reformasi Dikorupsi 2019 dan Mosi Tidak Percaya 2020. Kasus demi kasus yang terjadi di tubuh kepolisian menambah deretan masalah hukum yang menyedihkan.

Peristiwa beruntun yang selalu melibatkan anggota kepolisian dan dilakukan dalam kapasitasnya sebagai aparat penegak hukum semakin yakin menegaskan bahwa "kepolisian adalah institusi yang bermasalah". Dikatakannya "kepolisian sebagai institusi yang bermasalah" karena ada begitu banyak permasalahan yang ada kaitannya dengan polisi, tidak hanya sekedar polisi secara personalitas, tetapi kepolisian secara institusionalitas. Bermasalahnya institusi kepolisian nampaknya juga disadari oleh Presiden Joko Widodo yang ditandai dengan pemanggilan Kapolri serta Kapolda dan Kapolres seluruh Indonesia ke Istana Negara pada 14 Oktober 2022 silam.

Secara historis, keberadaan Polri sebagai institusi penegak hukum memiliki cerita sejarah yang panjang dan cukup rumit. Apabila disederhanakan, Polri lahir pada saat negara dalam keadaan kacau, korup, dan sistem hukumnya sedang bermasalah. Sebelum reformasi, tugas di bidang keamanan dijalankan oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Kemudian pada awal reformasi ABRI dipecah menjadi 2 institusi, yakni TNI yang menjalankan tugas dan fungsi di bidang pertahanan negara, sedangkan kepolisian di bidang keamanan masyarakat.

Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Polri adalah "anak kandung reformasi", yakni lembaga yang lahir pada saat reformasi untuk memperbaiki sistem penegakan hukum yang tadinya bermasalah. Dengan dibentuknya Polri tersebut diharapkan nantinya dapat memperbaiki penegakan hukum yang bermasalah dan serius dalam memberikan pelindungan kepada masyarakat dengan cara-cara yang humanis.

Lain awal reformasi lain halnya setelah lebih dari 22 tahun reformasi. Barangkali pernyataan tersebut dapat dipadankan dengan ungkapan bahwa "Polri yang dulu bukanlah Polri yang sekarang". Pasalnya, selama lebih dari 22 tahun pasca reformasi, kepolisian tidak lagi menjadi institusi yang bertaji, justru menampakkan sebagai institusi yang menakutkan dan membahayakan terhadap kelangsungan demokrasi.

Era reformasi saat ini ternyata tidak menjadikan kepolisian menjadi institusi yang telah tereformasi secara paripurna, sekalipun kepolisian yang ada saat ini dianggap sebagai anak kandung reformasi. Mengutip perumpamaan dari Muhammad Dahlan, S.H., M.H.--yang disampaikan dalam kelas mata kuliah Hukum dan HAM FH UB yang diikuti Penulis--dikatakan bahwa kepolisian adalah institusi yang ketinggalan gerbong reformasi. Berbeda dengan TNI yang sudah mereformasi institusinya, akan tetapi kepolisian masih melekat dengan watak konservatif Orde Baru yang berkarakter represif atau militeristik.

Kultur Kekerasan di Tubuh Polri

Tragedi Kanjuruhan yang terjadi beberapa minggu lalu hanyalah satu dari sekian banyak kejadian yang memperlihatkan betapa kuatnya kultur represif polisi dalam penggunaan senjata dengan dalih keamanan. Kentalnya kultur represif di tubuh Polri sangat kontras dengan tugas dan fungsinya untuk melindungi, melayani, dan mengayomi masyarakat. Kondisi demikianlah yang kita pahami sebagai reformasi semu di tubuh kepolisian.

Berdasarkan hasil pemantauan Komnas HAM tahun 2020-2021, kepolisian adalah institusi teratas yang sering melakukan kekerasan terhadap masyarakat sipil dengan jumlah 1.162 kasus. Hal serupa menurut catatan KontraS juga disebutkan bahwa sepanjang Juli 2021 hingga Juni 2022 terdapat 677 kasus kekerasan yang dilakukan polisi, ironisnya 456 kasus dilakukan dengan menggunakan senjata api. Berdasarkan catatan KontraS tersebut, kasus kekerasan mengalami kenaikan dibanding tahun sebelumnya yang berjumlah 651 kasus. Berdasarkan data-data tersebut, semakin yakin bahwa dalam tubuh kepolisian masih melekat dengan budaya represif yang tak kunjung hilang.

Dalam tugas pengamanan demonstrasi misalnya, polisi kerap menggunakan tindakan yang over dan tidak terukur untuk menertibkan dan menghalau massa. Pendekatan dalam usaha keamanan yang dilakukan polri selama ini kerap menimbulkan korban, baik luka-luka atau bahkan kematian. Kejadian tersebut terus berulang yang seolah-olah merupakan peristiwa yang niscaya rutin terjadi. Dari sini tentunya kita tidak boleh memaklumi cara-cara kepolisian dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki. Apabila dibiarkan, maka sama saja membiarkan abuse of power yang akan membahayakan demokrasi dan keamanan masyarakat.

Reformasi Polri Adalah Kebutuhan

Banyaknya kejadian demi kejadian yang melibatkan polisi berpengaruh terhadap tren kepercayaan masyarakat terhadap Polri. Berdasarkan survei yang dilakukan LSI, Indikator, dan Charta Politica, hasil ketiga lembaga survei tersebut menunjukkan kesimpulan yang sama, yakni kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri mengalami penurunan. Oleh karenanya semakin yakin bahwa kepolisian adalah institusi yang urgen untuk dilakukan reformasi atau restrukturisasi supaya back on the track sebagai pelindung, pelayan, dan pengayom masyarakat.

Polisi merupakan aparat penegak hukum yang cenderung reaktif dan bersentimen, kerap tebang pilih kasus, dan masih belum sepenuhnya memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan di masyarakat. Sekalipun polisi memiliki banyak prestasi, akan tetapi prestasi itu tidak akan berguna sepanjang kultur kekerasan masih melekat.

Pada kasus pembunuhan oleh Ferdy Sambo misalnya, permasalahan yang mulanya dianggap kecil ternyata membongkar kebusukan institusi. Di dalamnya terdapat banyak polisi yang saling bekerja sama menyusun skenario untuk membohongi publik. kondisi semacam ini bukanlah oknum lagi, melainkan mafia hukum, yakni orang yang mengacaukan sistem penegakan hukum.

Dalam kehidupan bermasyarakat, Polri memiliki tugas yang penting untuk melindungi, melayani, mengayomi masyarakat, serta sebagai penegak hukum. Apabila internal kepolisian terdapat banyak masalah, maka tugas-tugas kepolisian itu tidak akan terwujud sebagaimana mestinya, termasuk keadilan yang sukar diwujudkan. Oleh karenanya setiap ada masalah hukum yang melibatkan kepolisian tentu akan berimplikasi pada tidak terwujudnya keadilan dalam proses penegakan hukum.

Persoalan yang cukup kompleks di tubuh kepolisian memang menjadi hal yang urgen untuk diperbaiki. Reformasi kepolisian adalah sebuah kebutuhan yang mendesak dilakukan, bukan sekedar formalisme wacana. Supaya berjalan ideal, maka harus dilakukan evaluasi dan perbaikan yang menyeluruh untuk membersihkan dan memperbaiki orga-organ kepolisian.

Untuk mewujudkan reformasi kepolisian, akan lebih efektif apabila dilakukan dengan jalur politik (political will) sebagai mekanisme eksternal yang tidak banyak melibatkan internal kepolisian. Dilakukannya reformasi secara eksternal mengingat selama ini kepolisian adalah alat negara yang sulit untuk merubah dirinya sendiri. Sulitnya reformasi dari internal kepolisian karena secara lembaga sudah terlanjur menikmati kondisinya yang saat ini sedang kacau, sehingga sudah pasti tidak bisa diharapkan. Hal ini ditandai dengan kondisi kepolisian yang stagnan dan tidak jauh berbeda dari masa ke masa.

Cita-cita era reformasi masih belum usai. Hingga kini, reformasi itu harus konsisten dikonsolidasikan, termasuk memperbaiki institusi kepolisian. Inilah tugas para pemangku kepentingan yang harus segera dilakukan. Mereformasi Polri sejatinya tidak hanya merestrukturisasi lembaganya semata, melainkan juga mereformasi karakter institusi supaya bertindak humanis dan progresif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun