kucing kampung pergi ke mekkah, pulangnya ya tetap jadi kucing kampung',
Sebenarnya engga ada yg salah dengan cuitan si Ahmad dani ini, ya si kucing meskipun kampung dia berhak kemana saja dia mau, berjalan ke mana saja dia maw berjalan, baik ke pasar, masuk got, gorong-gorong, rumah orang tanpa memilih kaya atau miskin, mewah atau jelek, meskipun tujuannya mencari makan, tapi tetap saja kegiatannya adalah blusukan kesana kemari, tapi jelas tanpa embel2 pencitraan. :)
coba kalau itu kucing persia ?
pilpres kali ini memang luar biasa biasa, demamnya menjalar kemana2, tua muda, kakek nenek bahkan sampai anak2 pun ikut merasakan euforianya meski mereka masih belum mengerti logika politik pilihan pribadi.
Saya tidak akan menulis panjang lebar tentang hasil pilpres kemarin, tapi yang cukup menarik dicermati adalah “kisah” para capres dan pendukungnya yang penuh hiruk pikuk dan drama sekelas sinetron vulgar yg sudah jamak menjadi konsumsi masyarakat kita. Kisah yang akan terus kita ingat karena selama beberapa bulan , masyarakat kita terbiasa diberi makan oleh kata2 caci maki, fitnah, umpatan, sumpah serapah, nazar yg aneh, ketidakkonsistenan, kegilaan, delusional, janji2 yg terlampau manis yg jauh sekali dari kata sportifitas dan budaya santun, yg sebetulnya masih kuat dilakukan oleh sebagian besar masyarkat kita.
Ya kisah analogi antara kucing kampung dan kucing Persia.
Si kampung yang suka blusukan dan terbiasa kotor setiap harinya untuk mencari makan, dengan si Persia yang terbiasa hidup enak dan mendapatkan perlakuan yg termanjakan setiap harinya.
Si kampong yang terbiasa mencari tahu sendiri dimana ada makanan yang bisa dia buru, dengan si Persia yang terbiasa di beri bahkan diluluhi makanan yang dia sendiri g tau apa isinya.
Si kampung yang sering dicaci maki dan disumpahi bahkan ditendang kalo masuk rmh orang karena kepolosan dan kekumuhannya, dengan si Persia yg selalu dikerumunin orang dan digendong karena ketampanan dan kegagahannya.
Si kampung yang selalu diterima dan diberi makan oleh orang termiskin sekalipun, dengan si Persia yang jarang dan amat tidak pernah terdengar bercengkerama dengan orang2 miskin dan merasa terhina sekalipun.
Si kampung yg terbiasa dengan yg namanya kesederhanaan, kemiskinan, ketidakmampuan dan kekurangan, si Persia yang terbiasa dengan kemewahan, keelitan, pemujaan, kepatuhan
Si kampung yang sering disebut bodoh, plintat plintut, boneka orang dengan si Persia yang konon IQ nya melebihi juara dunia catur sekalipun
Saya ucapkan terima kasih yang luar biasa untuk ahmad dani, yang dengan apik menganalogikannya dengan kucing kampung, karena bagi kami yang orang kampung, dan serba biasa kami terbiasa dengan kucing kampung , bukan kucing Persia.
Salam hangat dari kampung.
"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H