Mohon tunggu...
Humaniora

Humanisme, Lestari atau Mati?

27 Mei 2017   13:09 Diperbarui: 27 Mei 2017   13:18 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

                Manusia memiliki zaman primitif dimana hal yang mereka tahu hanyalah cara untuk bertahan hidup. Seiring berjalannya waktu, manusia mulai mengenal kata kekuasaan. Dari kekuasaan ini melahirkan banyak hal. Dimulai dari aturan, perlawanan, hingga istilah baru. Humanisme. Humanisme adalah pandangan yang menekankan martabat manusia dan kemampuannya. Seperti hidup, humanisme memiliki tahap-tahapnya sendiri—jalan hidup. Gerakan humanisme pertama kali muncul sekitar abad ke-14. Setiap orang memiliki pemikiran yang berbeda tentang humanisme. Pemikiran-pemikiran ini memiliki dampak yang berbeda bagi kehidupan manusia.

                Abad ke-14 atau periode rennaisans adalah zaman dimana humanisme lahir (Budi Hardiman, 2012: 9). Pada saat itu adalah masa kebangkitan budaya-budaya Yunani dan Romawi Kuno. Dalam budaya mereka, manusia bebas menggunakan akal atau rasionya dan menggunakannya untuk mempertanyakan segala fenomena yang terjadi pada saat itu. Budaya Yunani dan Romawi Kuno sempat ‘mati suri’ pada abad pertengahan atau abad ke-9. Hal ini karena pada masa itu dominasi dari institusi Gereja mengekang pemikiran kritis setiap pengikutnya dengan berbagai dogma-dogma yang diajarkannya. Giordano Bruno Filsuf adalah seorang berkebangsaan Italia yang kemudian mati dibakar oleh pihak Gereja di tiang pancang karena menurutnya ajaran Gereja bahwa bumi merupakan pusat dari tata surya adalah salah. Gerakan humanisme lahir sebagai “emansipasi” terhadap manusia setelah sekian lama rasio dan akalnya dikurung oleh pihak Gereja.

                Lahirnya humanisme tidak serta merta dengan pengertian yang sama bagi setiap orang. Hal ini disesuaikan dengan keadaan yang ada. Ada yang mengartikannya sebagai hal positif, ada juga yang mengganggapnya positif namun menjadi negative bagi manusia lainnya. Seperti yang dikatakan Agustinus: “Manusia sama sekali tidak berkehendak merdeka. Manusia itu tidak bertanggung jawab atas dosanya walaupun Tuhan telah mengutuk manusia untuk selama-lamanya karena telah berbuat dosa. Satu-satunya yang memiliki kehendak merdeka adalah Tuhan. Tuhan menciptakan dunia melalui kehendaknya yang merdeka”. Di sisi lain, Aristoteles mengatakan: “Manusia tidak akan menjadi bahagia dengan malas-malasan, melainkan dengan berbuat sesuatu. Manusia menjadi bahagia melalui aktivitasnya, dengan menggerakkan diri untuk mencapai sesuatu, dengan bertindak. Maka manusia akan mengalami hidup yang bermakna—dan itulah inti kebahagiaan yang dapat tercapai dalam hidup ini—bukan apabila ia pasif-pasif saja, apabila segala apa sudah tersedia baginya tinggal dinikmati, melainkan mengembangkan diri dalam tindakannya sesuai dengan kekhasan sebagai manusia”. Kedua pendapat ini jelas berbeda argumen tentang apa yang harus manusia lakukan selama hidup mereka.

                Perbedaan pendapat manusia tentang humanisme memberikan dampak yang berbeda-beda bagi manusia lainnya. Pendapat yang menyatakan bahwa humanisme membuat manusia memiliki kebebasan berpikir secara rasional memberikan manfaat bagi manusia lainnya. Hal ini terbukti dengan adanya penemuan-penemuan hebat yang berakar dari bebasnya manusia untuk berpikir secara rasional. Sebaliknya, ada pula manusia yang menganggap bahwa humanisme hanya diperuntukkan bagi kelompok tertentu saja. Sebagai contoh, Adolf Hitler menganggap bahwa ras Aryan—ras asli Jerman—adalah ras terbaik dan Yahudi harus dimusnahkan. Padahal, humanisme bukan hanya milik orang ataupun kelompok tertentu. Setiap orang memiliki kebebasan untuk berpikir secara kritis dan rasional dan mereka berhak menyampaikannya pada dunia.

                Lahirnya humanisme membebaskan manusia dari hukum Gereja yang mengekang pemikiran rasional manusia. Setiap orang mengartikan humanisme dengan pandangan yang berbeda-beda. Pemikiran yang baik dan luas tentang humanisme melahirkan kehidupan manusia yang lebih baik. Sebaliknya, pemikiran kolot humanisme hanya diperuntukkan bagi manusia tertentu dapat menyebabkan berkurangnya sebuah kelompok manusia tertentu pula. Jadi, semua ada di tangan manusia. Humanisme? Tinggal pilih, lestari atau mati?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun