Seharusnya, ia memanfaatkan pekerjaannya untuk mengajak penonton sepak bola Indonesia yang terkenal akan kefanatikannya itu naik kelas, dengan mulai membiasakan mendengar komentator-komentator yang tidak hanya mengandalkan urat dan berbagai diksi tidak jelas saat pertandingan berlangsung, namun dengan 'daging' yang empuk.
Saya juga cukup khawatir dengan tren komentator hiperbola seperti ini. Karena sepak bola adalah tayangan yang luas dan ditonton hampir seluruh rakyat Indonesia, takutnya mereka mengira kalau menjadi komentator itu cukup dengan modal teriak-teriak tidak berarah setiap ada peluang yang terjadi.
Saya rasa, mimpi saya sebagai komentator sudah tidak sebergairah seperti saat menonton aksi komentator-komentator Liga Indonesia era Indonesia Super League dan Liga Ti-Phone. Dahulu, saya bisa belajar banyak dari tayangan 2 jam tersebut.
Sekarang, tayangan 2 jam itu hanya saya gunakan untuk menaikturunkan volume televisi. Terlebih lagi kalau harus dipasangkan dengan komentator yang hanya mengandalkan teriakan, sepertinya lebih baik saya mengatakan tidak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H