"Ayo-ayo, mana nih ributnya. Ga asik ah kalo adem-adem gini mainnya," "Nih kata gue, tim ini duluan nih yang bakal ribu duluan," sekiranya itu adalah rangkaian kalimat yang saya dengar selama menonton pertandingan mini soccer.
Bermain mini soccer tampaknya menjadi salah satu solusi ideal untuk menjaga kebugaran. Terlebih lagi, di masa pandemi ini melakukan olahraga seakan-akan berubah menjadi kebutuhan primer tiap orang. Tidak heran, banyak ilmuwan yang menyatakan agar rutin berolahraga guna meningkatkan imunitas tubuh.
Mini soccer merupakan pertandingan sepakbola dengan skala yang lebih kecil. Biasanya, permainan sepakbola dimainkan dengan 11 pemain di masing-masing tim. Untuk mini soccer, pemainnya cukup dimainkan dengan 7 pemain.
Kendati demikian, pertandingan mini soccer juga tidak kalah seru dibanding pertandingan sepakbola pada umumnya. Salah satu daya tarik pertandingan mini soccer adalah kerap terjadinya peningkatkan tensi dari salah satu tim. Biasanya, salah satu pemain mulai menyulut emosi lawannya dengan mengompori pelanggaran yang baru saja terjadi.
Entah memang sudah menjadi suatu budaya atau belum, saya kerap menyaksikan adanya gesekan antar pemain dari kedua tim pada pertandingan mini soccer. Formulanya pun sama, salah satu pemain dilanggar oleh lawannya, pemain yang dilanggar pun berdiri dan menghampiri muka si pelanggar. Kemudian, adu mulut pun terjadi hingga ada satu pemain yang memisahkan mereka berdua.
Sore kemarin, saya diajak teman saya menyaksikan pertandingan mini soccer di lapangan mini soccer yang baru saja ia bangun. Lapangan itu belum sepenuhnya jadi. Fasilitas pendukung seperti toilet, kasir, dan kafetaria masih dalam proses pembangunan. Namun, lapangan utama sudah tersusun rapi dan siap dipakai.
Sore itu, pertandingan mempertemukan tim dari alumni sebuah sekolah swasta di Jakarta Selatan (tim A) dengan tim dari sekolah di Jawa Tengah yang terkenal akan kedisiplinannya (tim B). Pertandingan seharusnya dimulai pada pukul 4 sore, namun salah satu tim baru bisa berkumpul di lapangan sekitar pukul 16.30. Pertandingan pun dimulai.
Jalannya pertandingan relatif berjalan ketat. Setelah satu gol cepat pada menit-menit awal dari tim A, belum ada lagi gol yang tercipta dari kedua tim. Masing-masing tim sepertinya menurunkan pemain-pemain terbaiknya di tiap lini.
Hampir memasuki 45 menit waktu bermain, akhirnya yang ditunggu-tunggu pun tiba juga. Pemain dari tim A terlihat sedang berduel dengan kiper tim B. Kiper tersebut menganggap bahwa pemain lawan bermain tidak santai, sehingga ia meneriaki lawan dengan satu kata yang menyulut emosi satu tim, ANJ--- silahkan dilanjutkan sendiri.
Lantas, perselisihan pun tak bisa dihindari. Dari tengah lapangan, pemain tim A lari menuju kotak penalti tim B dengan maksud ingin membela kawannya. Pemain dengan jersey Manchester United itu nampaknya sudah memendam dendam berumur 1000 tahun, hingga akhirnya ia menemukan momen yang tepat untuk meluapkannya.
Tidak lama adu mulut terjadi, salah satu pemain pengganti dari tim A langsung masuk ke dalam lapangan untuk merelai serta mencegah sesuatu yang tidak diinginkan. Teriakan-teriakan dari pemain-pemain lawan banyak terdengar. Ada yang meneriaki untuk didiamkan saja, ada juga yang berteriak agar segera dilerai karena menurutnya ini hanya permainan sepakbola biasa.
45 menit pertandingan berjalan, akhirnya kedua tim memutuskan untuk rehat sejenak. Skor di babak pertama berakhir 2-0 untuk tim A. 10 menit berlalu, pertandingan segera dilanjutkan setelah masing-masing tim melakukan pergantian.
Pertandingan mini soccer di sore itu memang sengaja dibuat tanpa wasit yang memimpin jalannya pertandingan. Karena memang niat awalnya adalah pertandingan persahabatan antar dua tim dari sekolah tertentu. Bahkan, ada juga beberapa pemain dari tim A dan tim B yang saling mengenal. Namun, budaya tensi tinggi yang tidak bisa lepas di pertandingan mini soccer manapun itu memang berlaku adanya.
Belum lama babak 2 berjalan, pemain tim A berkostum Manchester United kembali melontarkan kata-kata ke tim lawan. Lagi-lagi akibat pelanggaran yang dilakukan. Lontaran kata-kata tersebut pun direspon serupa, namun kali ini kedua pemain saling hasut-hasutan dari jarak yang cukup jauh.
Duel antar pemain berkostum Manchester United dengan kiper tim B adalah sorotan pertandingan pada sore itu. Selain mereka, ada juga momen yang terjadi antara penyerang tim A berbaju Thailand dengan pemain bertahan tim B berbaju lengan panjang. Mereka adu mulut seperti atlet UFC sedang weigh-in (acara sebelum pertandingan UFC yang mempertemukan kedua kontestan untuk menimbang berat badan mereka).
Tidak hanya di sisi lapangan tim B, di sisi lapangan tim A juga ada beberapa momen dengan tensi yang cukup tinggi. Pemain bertahan tim A terlihat seperti dilanggar penyerang tim B. Tidak terima dengan pelanggaran tersebut, pemain bertahan berkacamata itu lantas mendorong penyerang yang posisinya saat didorong sedang berusaha untuk berdiri, namun gagal karena dorongan tersebut.
Saya tidak begitu mengikuti perkembangan skor yang terjadi, yang jelas, tim A menang dengan selisih gol tinggi. Pertandingan berakhir saat adzan maghrib berkumandang. Menariknya, semua pemain dari tim A dan tim B terlihat saling tos-tosan sesaat setelah pertandingan selesai. Tidak ada dendam dari satupun pemain di situ, semua selesai dengan kepala dingin.
Hal ini memang tidak perlu dibuat bingung. Sejatinya, tensi tinggi yang terjadi sepanjang pertandingan hanyalah bumbu-bumbu penyedap rasa agar pertandingan berjalan lebih menarik. Terlebih lagi, kesukaan orang Indonesia melihat adanya keributan menjadi salah satu faktor tidak jarang tensi tinggi terjadi di sebuah pertandingan mini soccer.
Tidak ada salahnya menjadikan hal-hal seperti ini menjadi kebudayaan. Asalkan, cukup di lapangan saja. What happens in the field, stays in the field.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H