Mohon tunggu...
Endik Koeswoyo
Endik Koeswoyo Mohon Tunggu... Penulis - Endik Koeswoyo

Endik Koeswoyo memulai karier menulis sejak tahun 2006. Hingga saat ini sudah 8 skenario lm layar lebar, lebih dari 25 judul buku dan novel, dan telah menulis lebih dari 100 judul lm televisi, series dan program televisi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

The Jomblo Melas

30 April 2012   16:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:54 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Dulu sudah aku bilangin, Ndik, kamu itu harus konsisten melas sebab itu karakter kuatmu! Sekarang malah bergaya ustad ya nggak cocok...ga dapet feelnya jadi berasa hambar to?”

Begitulah ucap Edi Alkhiles sahabatku yang kaya raya, yang rekeningnya menggelembung segunung Galungggung tapi dia tetap rendah hati dan mau menerimaku yang melas ini di ruangan khusus perusahaannya. Tak peduli celana dekilku, tak peduli aroma kecut keringatku, tak pedulu bau bacin dari pakaian kotor yang aku bawa dengan tas kresek bekas bungkus ikan asin ini. Ruangan ber AC dengan permadani ARAB yang dibelinya langsung dari ALADIN ketika dia Umroh untuk yang ke 99 kalinya. Nah loh? Padahal aku mengenalnya dulu, dulu sebelum rekeningnya tiba-tiba saja sudah tidak terhitung dia itu melas juga ternyata. Masih aku ingat dia tinggal di rumah kecil di sebuah gang, aku tidak tau pasti apakah rumah itu ngontrak atau minjem, yang jelas aku bertemu dengannya di teras rumah yang dipaksakan untuk jadi kantor, ya sekitar 7 tahun yang lalu, aku anggap Edi Alkhiles itu bukan apa-apa. Eh ujuk-ujuk sudah punya ruangan sendiri yang pake AC dan permadani ARAB yang dibelinya dari ALADIN… Belum lagi karyawannya sudah nyebar dari Sabang Sampai Merauke kecuali Timur-Timur. “Hebat…” batinku sambil membuka sebungkus Marlboro merah yang sudah disediakan untukku.

“Yang penting, dalam bekerja itu SEMKUR,” katanya mengawali pembicaraan.

“Apa itu SEMKUR?” aku mengerutkan dahi.

“Semangat dan Syukur,” katanya.

“OH…. SEMUR….,” kataku.

“Loh? SEMKUR kok jadi SEMUR,” dia mengerutkan dahi juga.

“Semangat, senyum dan syukur,” kataku.

Aku duduk di kursi empuk di sudut ruangannya, kuangkat kakiku sebelah, kuletakkan sebelah tanganku pada sandaran kursi, angkuh. Benar-benar akuhnya diriku dengan pose itu, sumpah. Buru-buru aku menurunkan kaki dan tanganku, duduk mengempit kedua tanganku di antara paha, melas gitu deh. Wajahku tiba-tiba berubah melas dengan tiba-tiba ketika dia mendekat, duduk di kursi tepat di depanku. Mungkin aura milyiader itu membuatku tiba-tiba sedikit takut dengannya. Eh padahal siapa sih dia itu?

“Bla…bla…bla…bla…,” obrolan kalimat demi kalimatnya mulai meluncur.

“Ya… Pak… Ya Pak… Njih…,” begitu saja sedekah komentarku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun