Gejala khas lain yang bisa dikenali dari ledakan partisipasi bermedia (dalam pusaran isu politik terkini), adalah lahirnya retribalisasi. Konsep retribaliasai menyatakan bahwa media membentuk watak dan perilaku tertentu.
Bila di zaman media cetak menjadi arus utama, maka budaya yang lahir adalah ketekunan menganalisis, kesabaran menelaah, dan mendalam dalam nalar (sesuai dengan bentuk informasi yang ada di buku). Maka saat ini, di saat media elektronik dan internet menjadi panglima, maka budaya media yang lahir adalah: serba instan, tak sabaran, pendek-pendek, dangkal, dan membuang nalar yang mendalam. Pola-pola karakter bermedia seperti ini, kata Marshall Mc Luhan, adalah retribalisasi, alias kembali ke zaman tribal (suku-suku pedalaman). Artinya, dalam bermedia orang kembali menjadi berpolah purba: ekspresif, dangkal, cepat marah, miskin analisis, dan mengandalkan emosi semata.
Coba lihat, dalam jenjang proses komunikasi, selalu ada tahap, yakni internalisasi pesan (peremenungan pribadi dalam mengangkap sebuah isu), lalu masuk ke tahap berikutnya yaitu menyebarluaskan pesan. Dalam etape ini, ada celah untuk menyeleksi, mengedit, menyortir, dan menghitung dampak dari sebuah pesan (fungsi seleksi informasi). Rupanya, suasana bermedia saat ini tak memberi kesempatan terjadinya hal itu.
Publik begitu ekspresif! Tak sabaran. Ingin bersegera. Lebih-lebih, dalam aktivitas media internet, mereka relatif mudah menghindar dari resiko. Meski mencaci tiap hari, mengolok-olok, menghina, dan memfitnah, biarkan saja. Toh, mereka bisa membuat akun anonim. Atau merasa aman dalam menyebarkan isu buruk karena dilakukan ramai-ramai.
Secara kebetulan, perilaku ledakan partisipasi bermedia ini juga paralel dengan kepentingan media dan para politisi. Mengutip buku Morissan, Teori Komunikasi Individu Hingga Massa (Kencana, 2013), terjadi resonansi (penggaungan) informasi antara publik dan media. Keresahan publik, kejengkelan rakyat, dan kegenitan politisi, sama-sama berada dalam frekuensi yang menyatu dengan kepentingan bisnis media.
Media massa mainstream (TV, portal online) butuh komoditas laris; politisi butuh panggung; sementara rakyat butuh pengisi rutinintas (diversion).
Lalu apa kerugiannya bagi kita semua? Adalah menjadi ancaman bila publik tak sadar, terperosok dalam pola persistensi media (dan politisi). Persistensi media adalah: media sengaja mempertahankan trend isu tertentu untuk terus menerus hadir. Yakni media (dan politisi) sama-sama membuat jaring-jaring ketat, untuk senantias membetot memori publik, agar ikut dengan "gaya mereka".
Akibatnya jelas: rakyat akan mengabaikan urusan-urusan publik yang jauh lebih penting untuk ditekuni. Seperti sekarang misalnya, siapa yang mampu menggerakkan isu kurikulum 2013 yang banyak masalah itu menjadi urusan penting? Sudah banyak terjadi, masalah-masalah yang jauh lebih perlu diusung publik malah menjadi isu minoritas.
Dari uraian panjang ini, satu saja yang patut menjadi bahan renungan bersama: saatnya publik kreatif mengusung isu non politik, tetapi berkait erat dengan kemaslahatan umum. Itu saja.
Catatan: konsep, istilah, teori, dalam artikel ini sebagaian besar bersumber dari buku Morissan, Teori Komunikasi Individu Hingga Massa, terbitan Kencana Media Grup, Jakarta, 2013.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H