Mohon tunggu...
Endi Biaro
Endi Biaro Mohon Tunggu... profesional -

Penikmat Buku

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok Itu Mahal (Komitmen Sejarah)

16 Oktober 2014   18:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:47 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berkaca pada narasi agung sejarah dunia, mestinya kita lipatgandakan komitmen bhineka tunggal ika ini, sebagai perjanjian asli (perenial) bangsa ini. Sebagai imajinasi besar. Sebagai mimpi bersama. Sebagai tanah masa depan yang dijanjikan...

Sayangnya, yang menguat adalah kutub perlawanan.

Melalui aksi para pelaku bandit sosial baru di Jakarta atau wilayah urban lain, yang mengkapitalisasi isu sektarian dan sentimen keagamaan untuk kepentingan pribadi dan kelompok.  Mereka hari ini telah menjadi palu yang menggedor-gedor "tembok moralitas" persatuan bangsa ini. Tapi jika dibiarkan, lama kelamaan akan menjadi meriam penghancur. Mengapa?

Pola-pola yang dilakukan bandit sosial ini mencuri ruang kosong yang bersumber dari ketidakpercayaan diri, inferioritas, dan buta sejarah dari masyarakat seumumnya. Diakui atau tidak, rupanya benih-benih prasangka, stereotype, atas suku bangsa tertentu, masih tersemai luas. Bhineka tunggal ika tak benar-benar menjadi komitmen murni. Gerakan yang dilakukan oleh, misalnya FPI (atau partai politik yang ganti-gantian memanfaatkan mereka), merasa aman karena berlindung dari "psikologi" pembiaran oleh masyarakat.

Memang tak gampang mengubah realitas ini. Tetapi ada jalan ke luar. Sudah saatnya, ritual deseminasi sejarah berjalan melalui metode pembongkaran masa lalu. Buka dan hadirkan file-file lama yang memberi bukti bahwa bangsa ini lahir bukan oleh kerja-kerja sistematis satu dua kelompok. Bangsa ini bahkan lahir dengan pola nyaris acak dan multi strategi. Ada kobaran semangat merdeka atau mati, ada letupan bedil, ada diplomasi, ada sentimen agama, ada perang ideologi, tetapi ada juga pergumulan bisnis dan ekonomi.

Semua pihak ambil peran masing-masing ---sesuai dengan alur hidup dan kemampuan yang mereka punyai.

Salah satu yang penting dihadirkan saat ini adalah sumbangsih dan jasa besar dari komunitas (etnik) China/Tiongkok, baik totok atau peranakan.

Sebuah buku karya Twang Peck Yang (terbitan Diadit Media, Jakarta, 2007), berjudul Elit Bisnis Cina di Indonesia dan Masa Transisi Kemerdekaan (1940-1950), membeber serentetan fakta. Bahwa komunitas China yang plural dan heterogen (mereka datang dari berbagai wilayah daratan China, atau yang sudah turun temurun lahir di bumi nusantara), bukanlah entitas tunggal dalam pemihakan politik. Ini membantah pandangan stereotype yang dianut sebagian besar masyarakat, bahwa mereka pragmatis, oportunistik, dan menunggu siapa yang menang (untuk kemudian ikut gerbong penguasa).

Mereka atas kesadaran peran dan posisi strategis mereka, banyak yang mengambil pilihan beresiko, yakni pro republik. Mereka sanggup menembus blokade pelayaran laut dan sabotase bersenjata di jalur darat, untuk menyelundupkan pasokan senjata sisa Inggris di Malaysia dan Singapura, untuk kemudian dikirim kepada kaum republikan. Mereka pula, komunitas China, yang sanggup mengumpulkan pajak dan iuran untuk menambah pundi-pundi dana revolusi. Mereka yang menyambungkan jalur distribusi Sembako, dari pedalaman ke perkotaan. Dan yang paling penting, mereka yang paling memiliki kemampuan menegakkan fondasi perekonomian masa-masa mempertahankan kemerdekaan. Padahal, kerapkali, tantangan yang dihadapi berkali lipat dibanding para pejuang pribumi. Mereka kadang harus ditipu ---atau juga menipu--- para bandit, lasykar penjarah, milisi bersenjata, atau poltisi culas yang memeras. Mereka bahkan harus ada strategi untuk lolos dari cengkraman Belanda. Intinya, darah revolusi adalah darah bersama.

Memang ada juga sisi kelam. Tetapi noktah hitam itu bukankah sudah berlangsung berkali-kali? Sejak pembasmian China di Batavia oleh VOC pada 1740, sejak huru-hara sosial yang berkali-kali muncul, sejak kedatangan Jepang, sejak era gedoran China di 1946, sejak kecurigaan di ujung Orde Lama, atau sejak kerusuhan Mei 1998... Mengapa tak pernah ada pelajaran bersama untuk bekerjasama?

Kembali ke awal, yang tak hadir ada komitmen murni. Perang berkali-kali, kerusuhan berkali-kali, kecurigaan yang dirawat, tak memberikan apapun. Kecuali (mungkin) permainan zero sum game, sama-sama hancur. Kalau kita percaya bangsa ini bukan keledai, maka sebaiknya belajar dari sejarah. Bangsa ini lahir dari pergumulan keras, digotong bersama, dikerjakan bersama, dan diperjuangkan bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun