Mohon tunggu...
Hanz Endi Pramana
Hanz Endi Pramana Mohon Tunggu... Freelancer - menulis seakan bagian dari masa lalu. akankan punah?

Lulusan Prodi Ilmu Komunikasi, Fisip, Atma Jaya Yogyakarta, mantan wartawan Tribun Pontianak (Kompas Gramedia), Kalimantan Barat. Mantan wartawan yang ingin tetap menulis. Email: endi.djenggoet@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

Bidan Desa di Tengah Mitos Kampung (3)

27 September 2011   09:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:34 694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_133562" align="alignleft" width="300" caption="Warga antre di polindes. Foto: Dokumentasi Pribadi. "][/caption] KINI sudah hampir 3 tahun Yusi menjalani profesi itu, dan seorang dukun beranak justru menjadi mitranya. Mitra dalam pengertian bertindak semacam "asisten" saat dia membantu persalinan. Yusi pun mengaku sangat terbantu dengan adanya "asisten" itu. Setidaknya, bisa membantu memijat pasien, membersihkan, menolong tindakan, apapunlah istilahnya. Sama sekali dia tak bermaksud mengecilkan peran dukun beranak, karena tidak dipungkiri di pelosok-pelosok terpencil, peran dukun beranak satu-satunya yang bisa diandalkan. Sebab tenaga medis seperti bidan dan perawat masih terbilang amat terbatas untuk wilayah pedalaman Kalimantan Barat. Diakuinya, hingga sekarang sulit sekali menumbuhkan kesadaran ibu-ibu hamil untuk memeriksakan kandungan secara rutin. Mereka masih berpikiran pola lama: jika tidak merasa sakit, buat apa periksa kesehatan ke bidan atau perawat. Sebagai abang tertua, saya ikut menyemangatinya untuk senantiasa bersabar, dan tidak lelah menanamkan pemahaman itu kepada para wanita-wanita usia subuh yang hidup di pedesaan. Prosefi sebagai bidan sangat mulia, karena membantu seorang ibu melahirkan manusia baru ke dunia ini. Mitos yang juga masih harus dilawan, terkait sikap yang menganggap remeh kematian bayi. Misalnya secara medis, jelas-jelas bayi meninggal karena "salah urus", tetapi oleh pihak keluarganya dianggap bukan kesalaman mereka. Tetapi karena nyawa bayi itu dianggap "diminta" oleh mahluk lain. Ini sesuai ungkapan: "bayi itu bukan untuk kita", terjemahan langsung dari bahasa daerah "me nyak odop". Istilah ini khas untuk menyebutkan bayi yang meninggal setelah sempat hidup beberapa hari, minggu, atau bulan bahkan tahun. Kisah ini sangat membuat miris. Yusi pernah membantu seorang ibu muda melahirkan anak. Ketika lahir, bayinya sehat dan tak terlihat ada ciri-ciri sakit. Setelah berusia sekitar 2 pekan, dia mendengar kabar bahwa bayi itu akhirnya meninggal. Kaget karena mengetahui sebelumnya sang bayi dalam kondisi sehat, Yusi segera mencari tahu. Astaga! Ternyata sang bayi sempat sakit dan tubuhnya panas. Ibu muda yang memang belum berpengalaman itu selalu memandikan bayinya dengan air dingin, begitu merasakan tubuh bayinya panas. Kadang sehari sampai empat kali dimandikan dengan air dingin, bukan air hangat. Dalam kurun itu, tak satu pun dari anggota keluarga itu yang mencoba menghubunginya untuk mengobati sang bayi atau sekadar menanyakan nasehat medisnya. Kemungkinan bayi itu menderita demam, dan karena kondisinya yang sangat muda masih rentan dengan dinginnya air, menyebabkan paru-parunya tidak normal. Bayi pun meninggal, dan pihak keluarga seperti tanpa rasa bersalah dengan anggapan "nyawa sang bayi diminta oleh bla-bla-bla..." (Selesai) SEVERIANUS ENDI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun