Mohon tunggu...
Hanz Endi Pramana
Hanz Endi Pramana Mohon Tunggu... Freelancer - menulis seakan bagian dari masa lalu. akankan punah?

Lulusan Prodi Ilmu Komunikasi, Fisip, Atma Jaya Yogyakarta, mantan wartawan Tribun Pontianak (Kompas Gramedia), Kalimantan Barat. Mantan wartawan yang ingin tetap menulis. Email: endi.djenggoet@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Menuhankan Klik dan Hit

24 Agustus 2011   17:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:30 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_131336" align="alignnone" width="680" caption="Ilustrasi: google.co.id"][/caption] KLIK pada setiap postingan atau indeks tulisan di web, menjadi parameter sejauh mana informasi di dalamnya dinilai "berhasil". Tentu kata "berhasil" di sini masih bisa diperdebatkan. Sebab, klik yang menghasilkan hit tidak bisa disimpulkan pukul rata bahwa setiap pengunjung membaca secara tuntas tulisan itu. Ada beberapa kemungkinan: bisa saja pengunjung benar-benar membaca, tertarik ke judulnya saja dan setelah diklik ternyata isinya tidak menarik dan segera ditinggalkan, atau, nah ini yang parah, salah klik! Sistem pencatatan atau traffic yang dipasang di web otomatis mencatat jejak itu sebagai angka-angka hit! Mau sengaja, mau tidak sengaja, tetap semuanya mendapat poin. Namun sekurang-kurangnya, klik yang terjejak dalam jumlah hit itu bisa menjadi ukuran. Dengan melihat seberapa banyak hit yang dihasilkan klik dalam setiap postingan, orang mendapat gambaran bahwa tulisan itu telah "dikunjungi" sekian banyak orang, dikomentari, diberi rating, atau dicuekin. Saya sebelumnya pernah bekerja di sebuah media massa, dan ada pekerjaan ekstra berupa menangani pengelolaan portal berita. Nuansa pekerjaan penuh dengan buru-buru, bersitegang dengan reporter di lapangan, kesal dengan alat kerja yang kadang ngadat, sampai koneksi internet yang terkadang loading lama (lola). Tak jarang hasil editan pun bertabur kesalahan, mulai dari miss-typed sampai salah logika berita. Tapi namanya berita online, ternyata, yang sensasional justru dicari pembaca. Senior saya mengatakan, pahami dulu karakter pembaca media online di Indonesia. Rata-rata mereka lebih tertarik pada berita sensasional, seks, kekerasan, dan mistik. Dan ini terbukti. Ketika berita tentang kemiskinan, kesehatan, ketidakadilan, pokoknya yang bernuansa "ribet", dijamin hit-nya rendah. Tapi begitu berita terkait pemerkosaan si Bunga, si Kembang, si Melati; atau kisah hantu yang muncul di sela-sela pose seseorang yang dijepret di kamera ponsel, atau kasus pejabat selingkuh...cek saja, hitnya naik kencang. Data-data itu kemudian dicatat, dikelompokkan, diklasifikasi, sebagai bahan laporan. Ditemukanlah pemetaan tentang berita online yang disukai pembaca. Beberapa kali saya jumpai komentar di beberapa berita online, pembaca komplain karena merasa tertipu. Judulnya "merangsang", tapi isinya tak seheboh judulnya. Seperti berita tentang teroris yang dibekuk di sebuah kantor, yang setelah dibaca dengan seksama ternyata itu hanya rangkaian simulasi penanganan teror. Itu di level media mainstream. Lalu, mengapa bisa ditemukan postingan bernada keluh kesah di kompasiana soal klik, hit, dan kategori tulisan layak headline? Mungkin ini uniknya kompasiana. Tidak hanya mengandalkan kehebatan menulis, tapi juga jaringan. Tulisan hebat, banyak hit, minim komentar: mungkin sang penulis hebat ini kurang mengelola jaringan, pertemanan, dan sapa-sapa di jagad kompasioner. Sebaliknya, tulisan biasa-biasa aja, hit tinggi, komen banyak: mungkin sang pemilik akun pandai menjalin relasi dan punya banyak teman, sehingga komen banyak meski hanya berkomentar singkat. Harap diingat, kompasiana bukan sekadar blog, tetapi juga melengkapi diri dengan peluang jejaring, sehingga kombinasi ini menyempurnakan portofolio-nya sebagai "social media". Mengapa kesal jika tulisan hanya menghasilkan beberapa hit dan minim komentar? Ini bisa dianalisis oleh yang ahli psikologi. Apakah ini termasuk penyakit psikologi? Marah dengan orang yang tidak suka dengan suguhan yang kita sediakan? Jangan-jangan, banyak orang telah terjangkit penyakit "menuhankan klik dan hit". Seolah-olah jika tulisannya minim klik, hit, dan komen, seakan kiamat sudah dunia ini, hahaha! Anggap saja kita menyediakan masakan. Jika masakan itu enak, orang pasti senang menikmatinya dan mungkin menyampaikan komentar tentang kesannya. Atau masakan itu enak namun tidak dihidangkan secara menarik, sehingga sedikit orang yang melihatnya, bahkan minim yang mau mencicipi? Atau rasa masakan itu biasa-biasa saja, tetapi "cantik" dalam penyuguhannya? Menulis adalah proses panjang. Tahapan yang instan hanya menghasilkan penulis-penulis yang mati muda atau nafas pendek. Tidak menerima komentar, sedikit hit, jarang bahkan tak pernah menjadi headline di kompasiana, juga merupakan rangkaian proses ini. SEVERIANUS ENDI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun