SAAT itu saya masih remaja, kalau tidak salah masih sebagai siswa SMP di kota asalku, Ketapang Kalimantan Barat. Di awal era 90-an itu, sebuah tontonan yang cukup populer di TVRI, menjadi satu-satunya alternatif tontotan bagi kami anak-anak pedalaman yang tinggal di asrama.
Tayangan bertajuk "Gita Remaja" itu rupanya sudah mencapai episode terakhir. Perkataan sang pemandu acara, Tanowi Yahya, masih terngiang hingga saat ini. Dia katakan: "Jika kita berani mengucapkan selamat datang kepada seseorang, maka suatu saat kita juga harus berani mengucapkan selamat jalan pada orang tersebut."
Itulah improvisasi Tantowi yang begitu membekas, memaknai berakhirnya sebuah tugas, sebuah tayangan, sebuah kesan, yang sebelumnya begitu lekat di mata pemirsa. Ya, setiap orang punya gaya tersendiri, bagaimana harus memaknai dan menyikapi berakhirnya suatu "era". Ada yang sedih, ada yang bahagia, ada yang bingung, dan macam-macam.
Mantan Presiden Soeharto membacakan pidato pengunduran dirinya secara dingin dan datar-datar saja, meski konten-nya menggetarkan. Moammar Khadafi, Presiden Libya yang saat ini dihajar gelombang massa yang hendak menurunkan dia dari singgasana kekuasaan, justru dengan gagah perkasa membusungkan dada, menyiratkan perlawanan tiada akhir.
Di lain sudut dunia, ada mantan-mantan karyawan perusahaan yang menelan getir pahitnya pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan berlinang air mata. Atau beberapa prajurit yang tetap gagah berani menghadiri upacara pencopotan dirinya sebagai anggota kesatuan tertentu, disaksikan banyak rekan-rekannya, menjalani prosesi pencopotan seragam dan resmilah dia menjadi warga sipil.
Itu semua merupakan ilustrasi sisi kemanusiaan seseorang menghadapi berakhirnya suatu "era", mulai dari era berskala negara sampai era berskala personal. Setiap orang akan mengalaminya, dan hanya dibedakan sejauh mana peralihan era itu menggetarkan atau biasa-biasa saja.
Pengalaman saya bekerja di sebuah institusi media massa, ritme kerja yang up and down secara sangat fluktuatif, merupakan hal biasa. Itulah dinamika para pekerja media. Kadang dalam badai kehidupan itu, ada beberapa rekan yang mulai putus asa, atau memiliki pilihan lain, dan berencana hengkang dari "rumah bersama" itu.
Dalam kondisi itu, beberapa kali saya mencoba "sok bijak", mengajak bicara sang teman. Memberikan berbagai pertimbangan, dan mencoba menahan dia untuk tetap bersama-sama berjuang dalam "rumah bersama" ini. Meskipun akhirnya, beberapa dari teman saya tetap pergi juga. Tidak masalah, life is choice.
Sampai akhirnya, saya juga akan mengalami hal serupa. Saya juga akan pergi, tentu dengan aneka perasaan berkecamuk: sedih, senang, ragu, bimbang. Bukan hal mudah hingga saya sampai pada keputusan ini. Pun pimpinan di kantorku, tidak segera mengabulkan permohonan resign yang aku ajukan. Beliau meminta saya berpikir ulang, dan kesempatan itu aku gunakan.
Semakin aku berfikir, semakin aku sadari, ini bukanlah keputusan yang gampang. Pimpinanku, selain tentu sebagai atasan, dalam berbagai kesempatan bisa merupa sebagai saudara, orangtua, dan teman. Maka saya sampaikan semuanya, saya katakan bahwa saya memang harus membuat suatu keputusan, namun tetap berjanji memelihara silaturahmi yang sudah terjalin baik selama ini.
Hanya saja, nyaris tak seorang teman pun mencoba "menghalangi", atau setidaknya memberi alternatif pemikiran lain. Saya tidak kecewa, dan tidak pula berburuk sangka. Barangkali teman-teman memang belum mengetahui rencana kepergian saya dari "rumah bersama" yang telah kami bangun sejak embrio, sejak belum berbentuk.