Mohon tunggu...
Hanz Endi Pramana
Hanz Endi Pramana Mohon Tunggu... Freelancer - menulis seakan bagian dari masa lalu. akankan punah?

Lulusan Prodi Ilmu Komunikasi, Fisip, Atma Jaya Yogyakarta, mantan wartawan Tribun Pontianak (Kompas Gramedia), Kalimantan Barat. Mantan wartawan yang ingin tetap menulis. Email: endi.djenggoet@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Prahara Ikat Pinggang

16 Maret 2014   03:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:53 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1394890737253913342

[caption id="attachment_315794" align="alignleft" width="225" caption="Ilustrasi: serbagrosir.com"][/caption]

KERAP mengabaikan hal-hal kecil, bisa membuat harimu menjadi tidak enjoy. Ini kisah tentang prahara ikat pinggang. Tidak horor amat sih sebenarnya.

Ikat pinggang--bagi saya--merupakan perangkat sehari-hari yang tidak bisa terpisahkan. Bukan sekadar alat penahan celana supaya terasa pas di pinggang. Tetapi sudah menjadi kebiasaan yang akan sangat terasa jika benda ini tiada.

Orang yang sadar mode mungkin menjadikan ikat pinggang sebagai bagian dari aksesoris pendukung penampilan. Tapi tidak bagiku. Ikat pinggang bagiku benar-benar kebutuhan, bukan "modal" untuk tampil keren. Lagipula aku tidak pernah pusing dengan seperti apa model ikat pinggang yang akan dibeli.

Suatu hari menjelang akhir tahun 2012, aku diundang untuk sebuah kegiatan di Jakarta. Usai check in di hotel yang tak jauh dari lokasi acara, aku memutuskan untuk main-main ke rumah teman. Letaknya cukup jauh sehingga tidak memungkinkan untuk tak menginap.

Seorang teman lain menjemput, dan berangkatlah aku ke kediaman teman itu. Tidak ada agenda yang terlalu spesial, selain ngobrol ke sana ke mari sekadar mengisi waktu. Besok pagi aku berangkat ke lokasi kegiatan dengan numpang mobil sang teman.

Pagi harinya, baru aku sadari ikat pinggangku tertinggal di hotel. Tidak mungkin hendak kembali ke hotel yang letaknya jauh, sekadar untuk mengambil benda ini. Tak terpikir juga untuk membeli yang baru, karena ikat pinggang bukanlah barang yang sering gonta-ganti.

Sering sebuah ikat pinggang bisa digunakan untuk jangka waktu yang lama, bahkan sangat lama. Seingatku, ikat pinggang masa aku SMA dulu, masih terus kupakai hingga masa perkuliahan.

Begitu menyadari ikat pinggang tertinggal di hotel, kutanyakan ke tuan rumah tempatku menginap, kalau-kalau dia punya ikat pinggang ekstra yang tidak dipakai. Beberapa saat temanku itu mencari-cari. Nihil.

"Pakai tali rafia saja," ujarnya. Bercanda, tentu saja. Nah loe :p

Sebenarnya bukan permasalahan besar sangat jika pagi ini aku tidak mengenakan benda itu di pinggang celanaku. Cuma rasanya ada hal yang kurang. Celanaku pun tak bakal melorot tanpa benda itu. Tapi ya...gimana ya...namanya juga sudah biasa.

Kejadian ikat pinggang yang tertinggal di hotelpun berlalu dimakan waktu. Tak ada sesuatu yang terlalu berpengaruh akibat "prahara" itu. Istilah prahara sebenarnya terlalu lebay. Tapi boleh kan, sesekali lebay, haha!

Nah, awal Maret 2014, rupanya prahara itu terulang kembali. Aku pergi ke sebuah kota berjarak sekitar 200 kilometer dari rumahku, atau sekitar 4 jam mengendarai sepeda motor. Di tengah perjalanan, barulah menyadari prahara ini terulang: ikat pinggangku tertinggal di rumah! Akai!

Waktu sudah mulai malam, malas juga rasanya singgah di toko sekadar untuk membeli ikat pinggang. Lagi pula perjalananku masih membutuhkan jarak tempuh sekitar 2 jam lagi. Biarlah besok pagi sebelum jam kantor, aku berkeliling di kota itu untuk mencari barang ini.

Dan...esok paginya sekitar jam 07.00 WIB aku berkeliling pasar. Kali ini ikat pinggang benar-benar kubutuhkan karena harus berpenampilan relatif rapi ketimbang biasanya. Celana berbahan kain yang kukenakan memang perlu bantuan penopang. Bahannya yang lembut membuat mudah melorot (nah loe!).

Hampir 40 menit berkeliling di kota yang belum kuhafal benar denahnya (maklum masih baru). Kebanyakan toko-toko tutup, terutama toko pakaian! Yang sudah pada buka baru lapak-lapak penjual sayuran dan so pasti mereka tidak menjual ikat pinggang!

"Prahara" menampakkan tanda-tanda berakhir, ketika di sebuah emperan kulihat seorang bapak tua mulai menata dagangan di lapaknya. Dari jauh sudah kelihatan benda menjuntai di gantungan. Yay, here we go! Ikat pingganglah itu!

"Berapa satu, Pak?"



"Dua puluh lima ribu."



"Ya sudah, dua puluh ribu saja ya."

Tanpa berdebat, si bapak setuju. Dua kali ikat pinggang itu harus dipotong, karena kepanjangan supaya sesuai dengan lingkar pinggangku. Mantap, pas sudah! Lega! Setelah membayar, akupun meluncur dengan celana yang kokoh pada posisinya. Hidup ikat pinggang!

SEVERIANUS ENDI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun