Perluasan lahan untuk perkebunan sawit dengan cara menebang pohon dan membakar hutan yang jelas-jelas merusak ekosistem dan habitat satwa endemik, justru terus menerus mendapatkan izin resmi. Sementara di sisi lain, para petani kelapa sawit mengeluh ke pemerintah tentang pendapatan minim mereka.
Sekarang kita semua menanggung akibatnya sadar atau tidak disadari. Silakan cek di smartphone masing-masing temperatur saat ini dibanding temperatur 10 tahun lalu dan 10 tahun kedepan, apakah semakin membaik atau semakin kacau iklimnya? Banjir sering terjadi di berbagai tempat, gelombang panas yang banyak memakan korban, berbagai jenis virus yang terbebas dari es abadi akibat lepasnya gas metana ke udara atau bahasa beken-nya pemanasan global.
Peternakan juga menjadi sektor yang perlu diteliti lebih lanjut karena terbukti berdampak pada pembakaran lahan hutan untuk dijadikan perkebunan jagung yang menjadi pakan utama hewan ternak. Belum lagi soal kotoran yang mengandung gas metana, dampaknya lebih buruk daripada polusi yang dihasilkan oleh kendaraan berbahan bakar minyak fosil.
Jejak karbon juga merupakan masalah lain yang tidak kita sadari dampaknya sangat mengancam karena ketidak-pahaman masyarakat bahwa bepergian dengan menggunakan kendaraan berbahan bakar minyak fosil meninggalkan jejak karbon. Karena masyarakat tidak paham emisi karbon yang tidak mengepul sebagai asap ternyata melepas karbon ke udara.
Jika volume karbon terlepas dalam jumlah besar khususnya pada saat jam masuk sekolah, kantor, bahkan pada saat touring bersama komunitas, karbon-karbon tak kasat mata tersebut berakhir ke laut sehingga menyebabkan naiknya kadar asam yang membuat koral mati (Coral Bleaching).
Koral sangat penting bagi kehidupan biota laut, karena merupakan rumah bagi berbagai jenis ikan dan binatang laut lainnya. Tak heran jika belakangan ini semakin menyusut jumlah ikan di perairan laut.
Jika membicarakan tentang kondisi laut, pembaca juga pasti menyadari betapa banyaknya sampah plastik yang berakhir di laut. Ikan-ikan yang kita konsumsi pun mengandung micro-plastic. Apakah kita dengan lugunya masih berharap partikel mikro plastik yang sudah masuk di tubuh kita akan terus membuat badan sehat?
Masihkah kita bangga dengan melakukan bisnis yang merugikan alam sekitar atau dengan mengesampingkan kesejahteraan dan kelestarian hutan, laut dan alam semesta? Dimana hati nurani para pelaku bisnis yang mendapatkan izin resmi dari pemerintah untuk mengeksploitasi alam Indonesia?
Apakah mereka ini memikirkan nasib anak-cucu generasi mereka berikutnya kelak? Atau hanya dengan berpikir sempit semata hidup untuk saat ini saja? Sadarkah mereka bahwa kekayaan yang mereka dapatkan itu merupakan hasil dari merugikan atau mengorbankan alam yang dihuninya?
Apakah kita akan tetap diam dan pura-pura peduli namun tidak sungguh-sungguh beraksi nyata untuk pembangunan negeri ini yang lebih ramah lingkungan dan menjanjikan bagi generasi mendatang? Bagaimana kita dapat merubah mind set masyarakat kita? Inilah tantangan sebenarnya bagi kita kaum millennial, generasi Y dan Z Indonesia untuk memperbaiki apa yang sudah salah kaprah terjadi di negeri ini selama puluhan tahun.
Maka dengan adanya agenda G20 dimana Indonesia menjadi pemegang Presidensi G20 tahun 2022 ini, sebenarnya merupakan momentum penting yang terlalu sayang jika dilewatkan karena merupakan jalan menuju masa depan yang lebih hijau dan lebih bersih.