[caption id="attachment_408538" align="aligncenter" width="300" caption="Nasi Kerang Bumbu Asam Pedas Manis"][/caption]
Salaam everyone :D
Biasa denger kata valuasi ekonomi?
Paling nggak kalau suka nonton berita, adalah kata-kata ini disebut ketika menaksir total kerugian dari banjir wilayah X, kebakaran di lokasi Y, dampak kerusakan dari bencana ini dan itu. Intinya adalah usaha mendekati objektif untuk memberi nilai kuantitatif terhadap barang atau suatu jasa.
Nah, cerita sekarang nggak jauh-jauh nih dari valuasi ekonomi. Karena kuliah-kuliah kemarin membahas jasa lingkungan, jadi kurang lebih akan cerita seputar itu. Apa menariknya? Oke, simak ya :)
Percaya nggak, kebanyakan dari kita sedang membayar murah untuk tinggal di Indonesia. Tapi setelah ini mudah-mudahan, kita akan sama berpikir dua kali untuk membayar lebih mahal, dengan suka rela-semoga.
Negeri dengan iklim tropis ini menyediakan segala macam jenis buah tropis melimpah. Musim manggis yg sekilonya 10 ribu bisa jadi 15 ribu 2 kilo. Buah Duku, tarik harga turun sampai 7 ribu per kilo, dan hebatnya masih boleh ditawar jadi 5 ribu. Nah, kalau kita pindahin jadi kurs pounds sterling, nggak ada pecahannya tuh wkwk. Terus karena masih penasaran, jadi iseng buka market onlinenya Amazon.co.uk, lapak depannya menawarkan harga elus dada buat buah-buahan tropis. Sayangnya nggak nemuin harga Duku di sana, adanya rambutan yg ditawarkan seharga 37 £ atau 710 ribu dalam rupiah. Berikutnya Manggis dalam keadaan sudah di vacuum freeze dried seharga 14 £/oz (1 oz=30g) yg artinya kalau beli sekilo dikali kurs mata uangnya jadi senilai 8 juta 870 ribu RUPIAH.
Kalau dipikir, selain bangga karena kita punya buah tropis berselera harga yg tinggi, sisanya miris karena menyadari betapa cacahnya nilai mata uang kita di dunia Internasional. Berikutnya kasian juga mahasiswa kita di sana yg tentu saja nggak bisa seenaknya, “menikmati” musim rambutan, musim manggis atau pun duku. Karena mendadak miskin ketika baru berniat, “nengok” etalase toko buah tropis, kemudian berlalu sambil gigit jari.
Well, itu tadi mukaddimah. Sekarang garis besar valuasi ekonomi untuk ekosistem yg kita miliki. Ekosistem yg menyediakan manfaat langsung (tangibel) dan manfaat tidak langsung (intangibel) untuk kita.
Pernah dengar tentang rawa gambut? Di Sumatera dan Kalimantan Timur banyak nih, kalau kamu penasaran hoho. Kalau enggak, cukup baca cerita ini aja, ehehe. Kita punya 20,6 juta hektar rawa gambut, yg artinya kita punya aset rawa gambut terluas di dunia. Tempat minyak bumi bersarang anggun di bawah sana. Berikutnya, daerah aliran sungai yg dimiliki Indonesia, mirip seperti pembuluh nadi dengan perifernya saling bersambung itu, maka kayalah karena kita punya banyak sekali sungai. Ini yg membentuk ekosistem riparian menjadi penyuplai nutrien yg melimpah. Pentingnya apa? Tentu saja alam kita berbaik hati “seperti” penduduk negerinya, ia memberi makan dengan suka rela pada burung-burung yg singgah migrasi dari negara-negara tetangga. Sehingga saat lahan basah ini terkoyak sedikit saja, orang-orang di belahan dunia sana seperti Kanada menjerit, climate change, forest, and peatlands memaksa mereka mengirimkan bantuan dana dan nota kesepahaman untuk melindungi lingkungan hidup kita (CCFPI Project in Indonesia). Itu tadi contoh, berikutnya masih banyak lagi biaya pengelolaan lingkungan yg dibayarkan oleh negera-negara luar terkait perdagangan karbon, keanekaragaman hayati, dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Sepenting itu kah Nusantara? Tentu.
Sekarang kita masuk ke cerita inti, sabar sedikit dengan penjelasan ini ya, hehe. Kali ini benar-benar tentang valuasi ekonomi untuk ekosistem. Jasa lingkungan terhadap kita begitu besar. Dan sekali lagi, kita membayar murah atau bahkan tak-“berharga” sama sekali. Bagaimana bisa? Itu karena ekosistem kita menyediakan cuma-cuma berbagai manfaat, dari perlindungan tata air/hidrologi, pengendali volume air-erosi dan banjir, keindahan landskap, keunikan flora fauna lokal, sampai penyerapan dan penyimpanan karbon (carbon offset). Berikut kita mulai contoh kecil dari perhitungannya.
Familiar dengan istilah water footprint product? adalah volume air tawar yg digunakan untuk produksi suatu produk pertanian, yg diukur pada seluruh rantai suplai selama hidupnya (Hoekstra 2003). Nah, nilainya akan berbeda-beda antar jenis tanaman. Dan karena kita hampir selalu makan nasi, jadi aku ambil contoh padi nih ya. Sepanjang usia hidup padi, ia membutuhkan total air tawar yg berkisar pada 3.473 kubik per ton. Karena kita makan nasi dengan jenis yg berbeda-beda, jadi anggap saja nilai water footprint padi varietas x adalah sebagaimana di atas. Sehingga untuk memproduksi 1 kg beras dibutuhkan 2800 liter air tawar. Apabila kita gunakan air PDAM Bekasi yg harganya masih Rp 3.800/kubik, maka untuk memproduksi 1 kg beras kita harus membayar air seharga Rp 10.640,- dan ini belum termasuk harga bulir berasnya, hoho
Singkat cerita, maka dipilihlah judul tulisan seperti di atas. Itu karena terkadang orang kuliah agak kurang kerjaan memang, menghitung water footprint beras sekilo jika air yg digunakan adalah air kemasan (harga air kemasan paling murah Rp 3.000,- per liter). Sehingga untuk mendapatkan 1 kilo gram beras, kita harus membayar harga air kemasan untuk padi sebesar 8,4 juta, oww!
Tapi faktanya, ia-si padi tersebut hidup dengan mengandalkan kasih sayang Tuhan, Yang terus memberikan bermilyar butir air yg turun dari langit. Kemudian ia tumbuh dan memenuhi seluruh siklus hidupnya dan menghasilkan beras untuk kita. Dengan demikian, kita hanya perlu membayar “harga” beras-nya saja, dan bukan “harga” yg diperlukan padi untuk memenuhi siklus hidupnya sampai menghasilkan beras. Sebuah intangibel-kasih sayang Tuhan Semesta Alam bagi kita, penduduk “tanah surga”. Maka sudah menjadi suatu keharusan jika kita menambah syukur kita atas harga hidupnya si padi yg nggak perlu dibayar, ya baru padi ini dan masih banyak yg lain. Contoh lagi, sebuah pohon kopi memerlukan 22.907 kubik air selama siklus hidupnya, yg artinya hampir enam setengah kali yg diperlukan padi.
Masih ingat dengan sebutan tanah surga?
Valuasi-ekonomi Nusantara bahkan melebihi jumlah kekayaan negara berbiaya hidup tertinggi di dunia, berani hitung?
Itu kekayaan yg tiada tara nilainya. Karena merasa membayar gratis untuk tinggal di Indonesia, akan memaksa pikiran kita bermental miskin.
Maka sudah semestinya kita belajar untuk “merasa” kaya, sehingga akan hidup penuh syukur. Dengan demikian, mudah-mudahan Allah menambah nikmat-Nya dengan memampukan kita untuk mengurus kekayaan tersebut, suatu hari.
Sekali terakhir, demikianlah valuasi ekonomi-beras. Kalau ada yg kurang tepat, semoga ada anak pertanian atau statistik, pun siapa saja yg sadar mengoreksi.
Pesan moralnya apa?
- Belilah duku dan manggis selagi ada, nggak perlu nawar juga nggak apa-apa, haha
- Peliharalah alam, karena hubungan kita dengannya ibarat bayi dengan kantung makanannya
- Habiskan nasi di piring makanmu ya :)
- Nikmatilah kopi, itu minuman yg “mewah” ternyata :D
Selesai,
Salam dari Bogor-yg masih kota hujan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H