Keluarnya Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 terkait dengan implementasi Kurikulum Merdeka bagi sekolah yang ada di seluruh wilayah Indonesia jelas merupakan kejutan besar pada akhir masa pemerintahan Menteri Pendidikan Nadiem Anwar Makariem. Keinginan menciptakan kurikulum yang mengedepankan pada kepentingan peserta didik seperti yang sudah didengungkannya selama beberapa tahun menjabat, jelas terpampang pada Permendikbud ini. Salah satu yang menarik adalah perubahan yang muncul pada Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila atau lebih sering dikenal dengan P5.
P5 pada hakikatnya hadir untuk memberikan ruang bagi peserta didik bukan hanya pada kreatifitas, melainkan bagaimana membentuk peserta didik untuk lebih siap menyongsong masa depannya di masyarakat. Projek Penguatan profil Pelajar Pancasila merupakan bagian terdepan dari pembentukan karakter Profil Pelajara Pancasila yang Berketuhanan, Kreatif, Mandiri, Gotong Royong, Bernalar Kritis dan Berkebhinekaan Global. Keinginan mewujudkan pelajar yang dapat bersaing di era global tapi tetap mengedepankan budaya nasional merupakan tujuan dari penyelenggaraan P5 di sekolah-sekolah mulai tingkat dasar hingga Menengah.
Tapi benarkah P5 membawa perubahan siknifikan dari pelaksanaannya?. Pertanyaan ini muncul dari banyak orang, dan bisa juga muncul pada diri kita. Jujur berdasarkan pengamatan yang dilakukan, Projek Penguatan profil Pelajar Pancasila ternyata tidak membawa dampak siknifikan terhadap peserta didik. Seringkali kita masih menghadapi disparitas moral peserta didik yang bahkan tidak mencerminkan Profil Pelajar Pancasila. Bahkan apabila dilihat lagi secara signifikan secara kualitas kognitifnya tingkat kognitif pengguna kurikulum Merdeka lebih rendah dibandingkan dengan Kurikulum 2013 berdasarkan pada Jumlah mahasiswa yang diterima melalui jalur tes di PTN. Tapi apa benar ini salah kurikulumnya, apa benar projek yang dilakukan memang tidak bermanfaat, atau malah kesalahan bukan pada aturan atau kurikulumnya maupun Projek nya melainkan                  Â
Menelisik mengenai hal itu, mari kita cermati terlebih dahulu bagaimana kurikulum di sampaikan pada para guru. Bila merujuk pada cara penyampaian kurikulum maka hingga pada kurikulum 2013, pemberian materi kurikulum dilakukan secara langsung melalui instruktur pada pelatihan-pelatihan yang dilakukan mulai tingkat sekolah, Kabupaten/Kota, Provinsi, hingga Nasional. Berbeda dari itu, Kurikulum Merdeka tidak lagi ada instruktur ataupun guru inti yang menyampaikan materi kurikulum, melainkan para guru diminta belajar mandiri melalui modul dan pelatihan yang dibuat oleh pemerintah. Program digitalisasi pelatihan ini sedikit banyak berpengaruh terhadap bagaimana implementasi kurikulum di sekolah-sekolah di Indonesia. Bahkan tidak menutup kemungkinan terjadi perbedaan interpretasi dan hasil di Setiap wilayah. Apalagi ditambah dengan penerapan kurikulum sebagai bagian dari prestise sebuah wilayah. Seolah wilayah yang mayoritas sekolahnya menerapkan kurikulum terbaru merupakan bagian dari pemajuan Pendidikan di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa dari implementasi nya saja Kurikulum Merdeka seperti dipaksakan. Pastinya akan terjadi perbedaan pemahaman, keterpaksaan, dan ketidak mengertian yang muncul dari penerapan kurikulum yang baru.
Dengan pengetahuan yang kurang mendalam bagi para guru ditambah implementasi yang dipaksakan maka sebenarnya sekolah-sekolah belum siap untuk menerapkan kurikulum merdeka. Lalu bagaimana dengan Penguatan Profil Pelajar Pancasila yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari kurikulum Merdeka. Projek yang dilakukan di hampir seluruh sekolah sepertinya juga belum memberikan dampak siknifikan. Mengapa hal ini dapat terjadi, sepertinya disebabkan adanya pemahaman yang kurang tepat mengenai cara mengimplementasikan kurikulum itu sendiri. Prinsip P5 yang Holistik, Kontekstual, Berpusat Pada Peserta Didik, dan Eksploratif malah dilupakan dalam penerapan P5. Dilupakan karena penerapan P5 di sekolah-sekolah kebanyakan mengadopsi dari contoh yang sudah diberikan oleh pemerintah. Padahal, salah satu manfaat P5 berdasarkan pada panduan P5 adalah Menjadikan satuan pendidikan sebagai organisasi pembelajaran yang berkontribusi kepada lingkungan dan komunitas di sekitarnya. Bagaimana bisa berkontribusi pada lingkungan dan komunitas sekolahnya apabila permasalahan yang diambil bahkan tidak relevan dengan permasalahan di lingkungan sekolahnya.
Projek yang seyogyanya bermanfaat besar bagi peserta didik pada kenyataannya tidak lebih hanya seperti pentas seni atau prakarya saja dan tidak lagi melihat pada proses melainkan pada hasil. Kemungkinan ketidakberhasilan yang muncul pada penerapan projek pabila dilihat dari pedoman yang dikeluarkan oleh kementrian adalah karena ekosistem nya yang belum siap menerima perubahan, masih stagnan dan bersikap aditif terhadap perubahan yang ada. Kesimpulan ini muncul berdasarkan pada tanggapan sekolah-sekolah pasca pergantian kepala Negara yang kemudian berdampak pada pergantian Menteri Pendidikan. Muncul suara-suara penolakan yang semakin kencang terhadap penerapan kurikulum baru termasuk pemberlakukan P5.
Berdasarkan apa yang dilakukan terkait P5 maka jelas kesalahan ada pada beberapa hal yaitu Pelatihan, Penerapan,dan Penguatan Iklim Sekolah. Pelatihan nya salah karena sudah puluhan tahun Indonesia Merdeka Guru di jejali dengan system pelatihan berjenjang dengan menggunakan tatap muka langsung. Tapi bukankah guru sudah bertransformasi untuk menggunakan perangkat elektronik dan gawai dengan lebih baik pasca pandemic covid-19, ya itu memang benar, tapi perlu diingat pula bahwa mayoritas guru di Indonesia terdiri dari generasi X dan generasi Z dimana kedua generasi ini dikenal tidak cocok dengan system pelatihan yang diadakan secara daring. Generasi X yang salah satu sifatnya adalah selalu mempertanyakan otoritas dan generasi Z yang tidak suka ribet menjadikan kedua generasi ini menjadi salah satu penghambat system pelatihan daring yang dilakukan oleh pemerintah. Adapun pendukung utama dari system pelatihan daring yang dilakukan adalah yang berasal dari generasi milenial. Walau tidak semua guru dari generasi milenial mendukung pelatihan ini tapi bisa tampak dari hasil-hasil kegiatan seperti Guru Penggerak maupun program yang memerlukan pemikiran lainnya diisi oleh para guru dari generasi milenial. Sedangkan program yang tanpa perlu pemikiran lebih luas seperti guru konten creator diisi oleh para guru dari generasi Z.
Fenomena pelatihan dan dukungan terhadap kebijakan peningkatan kompetensi guru yang dilakukan pada masa Menteri Nadiem Makariem dimana pendukung utamanya adalah guru-guru dari generasi Y atau Milenial, ini menjadikan para guru terpecah pada dua kubu besar. Hal kedua yang salah adalah pada Penerapan P5 di sekolah-sekolah. Mengapa penerapan menjadi salah, hal ini didasari dari identifikasi sekolah yang salah dalam melakukan penerapan tersebut. Sekolah dari awalah diberikan arahan untuk mengadopsi modul projek yang sudah ada sehingga menjadikan sekolah tidak mampu memberikan projek yang sesuai dengan kondisi lingkungan sekitarnya. Sekolah di Kalimantan menerapkan projek dari sekolah di Jakarta yang karakteristik daerah dan lingkungannya berbeda begitupun sebaliknya. Ketidak sesuaian ini menjadikan P5 yang diterapkan di sekolah-sekolah seakan hanya menjadi ajang prakarya dan kesenian saja. Pembentukan karakter Pelajar Pancasila yang diidamkan melalui P5 bahkan tidak dilihat dan tidak masuk pada penilaian karena penilaian P5 hanya terarah pada hasil.
Penilaian terkait tarian daerah misalnya hanya dilakukan pada gelar tarian daerah yang dilakukan di akhir, proses bagaimana mengenal tarian daerah, mengapa perlu mempertahankan daerah, hingga bagaimana mempertahankan tarian daerah tidak tersentuh penilaian sama sekali. Padahal dengan satu focus judul terkait tarian daerah saja kita mampu menamkan profil pelajar yang Beriman dan Bertaqwa serta Berahlak Mulia melalui rasa syukur bahwa Indonesia memiliki ragam budaya dan tarian, Berkebhinekaan Global dengan membanggakan produk asli Indonesia dan menjadikannya sebagai salah satu bagian dari keanekaragaman, Kreatif dengan memberikan solusi bagaimana tarian daerah bisa berkembang dan bertahan diantara jenis-jenis tarian luar yang melanda Indonesia, Kreatif dengan memberikan kesempatan peserta didik untuk memberikan berbagai masukan dan inovasi terkait tarian daerah. Jadi minimal ada tiga Profil Pelajar Pancasila yang dapat dinilai dari hanya satu kegiatan P5 saja.
Kesalahan yang terakhir adalah terkait Penguatan Iklim Sekolah. Penerapan perubahan kurikulum secara terbatas pada sekolah-sekolah penggerak yang dimulai di tahun 2021 ternyata tidak memberikan contoh yang baik terhadap perubahan dan penguatan iklim sekolah bagi sekolah-sekolah yang ada di sekitar sekolah penggerak. Penguatan iklim sekolah yang gagal paham terhadap kegiatan P5 sehingga seringkali penerapan P5 tidak dirancang dengan baik dan hanya sekadar mengikuti tuntutan perubahan kurikulum saja. Salah satu contoh adalah pembagian jam yang tidak sesuai dengan struktur kurikulum. Hal ini muncul disebabkan oleh iklim sekolah yang belum mendukung, dimana wakil kepala sekolah beserta tim kurikulum kurang memahami terkait struktur kurikulum. Selanjutnya dan yang paling utama adalah dukungan pemimpin sekolah. Seperti sudah di sampaikan diatas bahwa masih banya guru dari generasi X dan banyak dari generasi ini yang kini menjadi pemimpin sekolah. Jelas dengan berbagai pertanyaan dan pesimismenya maka penerapan P5 tidak dapat berjalan dengan baik. Belum lagi iklim sekolah yang lainnya mulai dari guru hingga pada orangtua peserta didik juga memberikan dukungan negatif terhadap penerapan P5 di sekolah.
Dari berbagai tantangan dan kesalahan yang telah dilakukan pada penerapan P5 sejak tahun 2021 hingga kini, maka perlu perbaikan yang signifikan terhadap Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila. Ini perlu dilakukan agar cita-cita dari P5 bisa benar-benar tercapai sehingga nantinya tidak lagi muncul berbagai celoteh terkait kegagalan P5 di sekolah yang tidak mampu membentuk karakter dan moral peserta didik sesuai yang diinginkan oleh masyarakat. Keinginan agar peserta didik bisa hadir dan aktif di masyarakat sebagai pemimpin perubahan dengan karakter dan moral yang dapat diterima dengan baik. Untuk itu beberapa perubahan perlu dilakukan.
Perubahan pertama jelas pada pelatihan yang dilakukan untuk guru dan sekolah. Pemerintah perlu untuk tidak pelit memberikan penugasan melatih trainer-trainer yang dapat diterjunkan langsung ke sekolah-sekolah untuk melatih guru-guru. Memang perlu biaya yang besar tapi hal ini amat dibutuhkan agar ada keseragaman pemikiran terhadap konsep yang diinginkan. Pelatihan yang baik akan paling tidak memberikan keberhasilan hingga 60 sampai 70 persen sekolah dengan kemampuan yang baik pada penerapan P5 di sekolahnya. Bayangkan dari 60 persen saja sekolah semisal SMA di Indonesia yang berjumlah 14.573 sekolah 60 persennya adalah 8.744 sekolah dengan masing masing sekolah ada 1000 siswa maka aka nada lebih dari delapan juta peserta didik yang siap terjun ke masyarakat dengan karakter dan moral sesuai dengan konsep dan tujuan penerapan P5.
 Perubahan kedua adalah pada penerapan P5 dimana perlu asesmen yang benar terkait sekolah mana yang bisa mengimplementasikan P5. Penerapan P5 berbeda dengan kegiatan prakarya ataupun projek yang digunakan pada mata pelajara. Penerapan P5 mengedepankan pada perubahan perilaku peserta didik yang menunjukkan ketercapaian Profil Pelajar Pancasila sesuai yang diharapkan. Penerapan P5 pun bukan sekadar pemenuhan jam mengajar melainkan bagian dari guru melakukan identifikasi terhadap kebutuhan belajar dan kriteria kecerdasan emosional peserta didik di sekolah. P5 pun diterapkan untuk dapat memberikan kebebasan peserta didik dalam merancang, melaksanakan, mereflesksi, dan menyimpulkan terkait pada projek yang sudah dilakukannya. P5 bukan hanya sebuah identifikasi pengalaman belajar, lebih dari itu P5 memberikan tuntutan pemenuhan kualitas pengamalan, pemikiran, dan tindakan yang dilakukan peserta didik sebagai bentuk perubahan karakternya membentuk Profil Pelajar Pancasila. Oleh karena itu penerapan P5 di sekolah-sekolah wajib ada perlakuan khusus berupa asesmen yang jelas dan sistematis sehingga dapat menunjang perubahan tersebut. Jam P5 pun sebaiknya lebih flexible dengan Batasan jelas, dan menjadi bagian dari jam tersendiri sehingga tidak ada kerancuan dalam pembuatan jadwal serta prosedur pelaksanaan P5 di sekolah.
Terakhir adalah bahwa pemerintah wajin melakukan pengukuran yang jelas bagaimana suatu sekolah benar-benar telah memiliki iklim yang menunjang terhadap perubahan terkait penetapan kurikulum merdeka. Pemerintah pusat dan daerah harus bersinergi bukan hanya menunjuk tapi terjun langsung melakukan asesmen terhadap sekolah-sekolah yang dianggap layak melakukan implementasi kurikulum merdeka. Bagi sekolah yang dianggap belum layak maka wajib dilakukan pendampingan minimal satu tahun untuk memastikan iklim sekolah itu menunjang terhadap implementasi. Karena dengan memastikan iklim sekolah benar-benar menunjang lah maka pelaksanaan P5 dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Tak ada gading yang tak retak, tak ada ranting yang tak patah. Sebagai sebuah negara yang sedang membangun identitas pendidikannya maka sudah selayaknya akan selalu ada perubahan. Saat setiap pendidik sudah dipastikan selalu siap terhadap perubahan, sebagai masyarakat pun kita jangan hanya berpangku tangan dan mempasrahkan Pendidikan putra-putri kita hanya pada Lembaga Pendidikan dalam hal ini sekolah. Sebagai masyarakat, kita pun harus selalu melek terhadap berbagai isu Pendidikan dan memastikan bahwa kita pun berkontribusi terhadap pemajuan Pendidikan. Pembentukan karakter dan moral generasi ini bukan hanya tanggung jawab sekolah dan pemerintah, tapi juga tanggungjawab dari masyarakat. Jadi tetap berusaha untuk Pendidikan di Indonesia yang lebih baik.
Penulis  : Endar Priyo Sulistiyo ( Sekjen AGSI, Anggota Dewan Eksekutif APKS PGRI Pusat, Mahasiswa Pascasarjana Prodi IPS Universitas Palangka Raya )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H