Mohon tunggu...
Endang Ssn
Endang Ssn Mohon Tunggu... -

Pecinta senja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketika Diammu adalah Bahasa Cinta Terindah

19 Agustus 2012   12:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:32 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cinta adalah bahasa universe yang singgah pada setiap hati tanpa pernah dinyana dan direncana. Sebuah kebetulan dalam kacamata manusia yang sesungguhnya telah ada pada skenario Tuhan. Tabuh bertalu pada genderang hati dengan irama yang syahdu, dalam alunan merdu rindu yang bergerak lirih di labirin kalbu.

“Tuhan, apa yang sedang bergerak demikian halus di hati ini ?” tanya itu pernah menjadi muara pada seberkas keraguan yang belum sanggup diterjemahkan oleh Riana

Malam-malam panjang menjadi rekam jejak rasa yang dibaginya kepada langit. Di sudut kamar dengan jendela lebar, ia leluasa untuk menatap bintang di angkasa. Aksaranya bisu namun tidak saat pertemuannya dengan malam. Ia tumbuh dengan semangat luar biasa dan menjelma selayak bidadari dalam rona tatapan tajam.

Rasa itu datang, tak pernah diminta. Rasa itu menari, tak pernah berhenti. Berawal dari pertemuan tak sengajanya dengan seorang lelaki muda yang belum juga sempat ia temui. Dalam maya yang memeluk mereka, kedekatan terjalin demikian erat. Bisa karena biasa, begitu mungkin yang sedang ia alami kini. The right man in the right time. Lara yang menoreh luka demikian dalam di hati Riana seakan terbasuh oleh kehadiran Reza. Hatinya memang belum lagi utuh sejak kepergian sang kekasih dalam sebuah penghianatan janji setahun silam. Kejadian yang nyaris menguras air matanya hingga mengering. Samudera kesabaran menjadi ujian yang luar biasa kala itu.

“Kadang kita terlalu egois memandang sebuah kejadian. Padahal sesungguhnya kita pantas untuk berterima kasih pada segala kegetiran itu. Sebab dari sanalah kita tahu bahwa kita adalah pribadi tangguh yang sanggup bangkit di atas segala keterpurukan” nasihat Reza

“Kamu bisa berkata begitu sebab kamu nggak berada di posisiku sekarang. Andai saja …”

“Jangan pernah berandai-andai. Tuhan tak suka itu”

“Okey, sekarang apa yang harus aku lakukan ? Diam begitu saja setelah apa yang dia lakukan padaku ?”

“Ya. Diam, ikhlas dan maafkan saja”

“Apa ? Kamu nggak bercanda bukan ?”

“Lakukan saja. Kamu nggak akan pernah tahu kamu mampu jika tak pernah mencobanya. Untuk apa menangisi semuanya, hanya membuang waktu saja. Untuk apa terpuruk oleh kenyataan, sia-sia saja. Aku yakin kamu bisa, masa kamu sendiri nggak yakin ?”

Ucapan-ucapan Reza yang sungguh lugas sempat menyentil kesensitifan rasa Riana. Ada yang tak bisa ia terima namun dalam akal sehat ia pernah membenarkan semua itu. Hingga akhirnya ia putuskan untuk melakukan apa yang disarankan oleh Reza.

Kedekatan mengalir begitu saja. Keduanya menjadi demikian erat dalam pertalian yang tak pernah mereka sadari. Malam-malam selalu menjadi muara yang mengantarkan khayalan mereka tentang masa depan pada sebuah diskusi. Riana merasa nyaman berbagi tentang apa saja pada Reza. Lelaki itu bukan lagi hanya teman sesaat yang kemudian hilang tak berjejak. Reza justru menjadi bagian dari hidup yang tak lagi bisa dihilangkan begitu saja. Ada sebuah ruang yang sedang Riana buka. Ruang yang dulu pernah berpenghuni namun kemudian sang penghuni memilih untuk meninggalkan ruang itu. Riana sempat menutup rapat pintu ruang itu, berharap tak akan pernah lagi terbuka. Sayang, waktu tak bisa diajak berdamai. Dengan kesabaran penuh, dalam keramahan sangat Reza dapat memutar kunci dan membuka pintu ruang itu. Ia memang belum melangkahkan kakinya untuk tinggal namun Riana telah menyiapkan taman terindah disana. Bukan sekedar disinggahi tapi membuat Reza menetap nyaman hingga takdir sang empunya hidup menyatukan mereka pada sakral nan suci atas nama pernikahan.

***

Tak sengaja kesibukan menjadi jeda pertemuan maya mereka. Kehidupan nyata bergerak demikian hebat hingga luang menjadi sesuatu yang sangat langka untuk didekap. Reza hanyut dalam kesibukan rutinitasnya. Ia menjadi sangat jarang menggeluti kehidupan maya. Sesekali saja menyapa, sayang waktu tak lagi mempertemukannya dengan Riana. Gadis itu terpaku mendekap hangatnya rindu. Entah mengapa serasa ada yang bergolak namun tak mampu dibacanya.

Berkali-kali Riana mendatangi rumah maya Reza. Bukan lelaki itu yang ia temui tapi perempuan-perempuan hebat lainnya. Mereka yang dengan sikap keterusterangannya dengan gamblang mengabarkan ketertarikan hati. Hingga ada beberapa yang menjelaskan dengan sangat hebat tentang perasaan mereka. Kalimat-kalimat cantik yang puitis semakin sering saja menggenapi pelataran beranda Reza. Riana menyadari dalam segala keterbatasan dirinya, ada ruang yang sebenarnya sanggup menyempurna. Dan itu akan nyata dengan adanya Reza. Sayang, ia tak sanggup menterjemahkan segala perhatian yang selama ini dicurahkan oleh Reza. Sebelumnya ia pernah mengira, dialah perempuan terpilih itu. Tetapi perhatian itu bukan hanya dihadiahkan oleh Reza kepadanya saja sebab nyaris semua perempuan yang mengenalnya mendapatkan hal serupa.

“Banyak banget ya yang mengagumi kamu ?” ucap Riana suatu kali

“Disyukuri saja. Aku nggak bisa melarang orang lain untuk suka padaku. Itu hak mereka”

“Lalu kamu ?”

“Semua sudah aku anggap adik kok”

Riana tersentak. Adik ? Ah jangan-jangan, itu pula yang terjadi dengan dirinya.

“Banyak banget dong adiknya. Aku adik yang keberapa nih ?” sengaja ia memancing demi mendapati jawaban

Henig, diam. Reza tak pernah menjawab pertanyaan itu bahkan hingga detik ini. Riana cukup berlega hati, setidaknya Reza mengisyaratkan bahwa dia berbeda dengan yang lainnya.

***

“Rez, selamat ulang tahun ya. Semoga umurnya berkah dan cepat bertemu dengan bidadari hati”

Aamiin. Aku yakin Tuhan sedang mengaturnya dengan cara yang sangat indah untukku kini”

Riana semakin tegas akan apa yang berbisik di kalbunya. Kedekatan yang belum pernah mempertemukan mereka dalam nyata telah sanggup menggiringnya pada sebuah keputusan besar. Ya, Reza adalah lelaki tepat yang diinginkannya. Bukan karena status, wajah atau materi. Tapi kedekatannya dengan Tuhan yang menjadikan Reza begitu istimewa.

Perlahan makna cinta dipahami Riana dalam bahasa berbeda. Tak ada lagi sikap menggebu yang berapi-api untuk menyatakan cinta. Riana menjelma menjadi gadis lembut yang sangat menata hatinya untuk sebuah rasa. Reza mungkin telah berhasil membuka hatinya tapi Riana tak pernah merelakanperasaannya mengabadi pada lelaki itu. Rasa itu hanya dilabuhkannya kepada Tuhan, segenap rindu yang tumbuh dikabarkannya kepada Tuhan saja. Tak pernah ia biarkan seorangpun membacanya kecuali Tuhan.

Duhai penilai hati,

Tertatih hati meniti jalan cintaMu

Dalam percaya yang mendatangi diri

Luruh aku pada separuh hati yang ternanti

Rindu mengalun syahdu

Di kedalaman rasa yang berdenting lirih

Berbisik teramat halus dan kelu

Dalam bahasa diam yang coba tereja

Kutitipkan rindu di pelataran senja

Tentang jingga yang sedang kau renda

Tentang waktu yang harus kueja

Tentang bahasa bisu yang bernyawa

Riana hanyut dalam malam-malam panjang pada pertemuannya dengan Tuhan. Sajian langit di sepertiga malam menjadi jamuan cinta paling romantis yang pernah ia temui. Hatinya merindu, namun dilabuhkannya pada Tuhan. Cukup Dia saja yang mengabarkan kepada Reza tentang apa yang bergerak di sepenggal hatinya. Mendamba karena Tuhan, merindu sebab Tuhan dan mencinta cukup karenaNya saja. Riana mencoba menggiring hatinya pada penantian indah yang dijanjikan sang pemilik hati. Penantian yang kelak akan berbuah manis ketika takdir menyatukan pertalian mereka pada seutas tali indah bernama pernikahan nan suci. Doa malam menjadi labuhan yang terpantaskan bagi para perindu.

***

Perlahan waktu menjarakkan keduanya. Saling membatasi diri untuk lebih peka atas apa yang ada diantara mereka. Kadangkala kita memang butuh “jauh” untuk merasakan artinya “dekat”. Seperti halnya kalimat yang tak bermakna jika tak ada spasi.

Untuk bidadari hati, entah siapa, entah dimana

Gemericik nada rindu memintal rasa

Sepenggal sapa menjadi bahasa

Seutas rindu menautkan jiwa

Izinkan berlabuh di cintaNya saja

Kalimat puitis yang ditemuinya pada catatan Reza memberikan penegasan bahwa sesungguhnya Riana sedang berada dalam penantian. Sebuah masa yang ia sendiri tak tahu sampai kapan. Dipahaminya apa yang bergejolak di kalbu tapi iapun mencoba memberi ruang yang tepat bagi sapa manis cinta.

Waktu telah merenggangkan ruang antara mereka tapi bukan untuk terberai. Reza sedang memberi jarak untuk Riana mengasah peka. Reza sedang menata hatinya dengan sangat rapi untuk Riana memahami makna hakiki sebuah rasa.

Tak ada lagi pertemuan yang intens pada dunia maya mereka. Diam, hening pada titian kalbu yang sedang diterjemahkan dengan lebih bijak. Dalam diam Reza, ada bahasa cinta yang terindah. Cinta memang tak pernah meminta untuk menanti tapi memberi kesempatan kepada dua hati untuk berjumpa pada bahasa cintaNya. Segenap rasa dibiarkan menari dalam cintaNya saja, untuk sebuah pertemuan yang Dia janjikan kelak.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun